Terkadang sulit
membedakan atau memilah Antara kecerdikan dan kelicikan. Kecerdikan sering
dimaknai sebagai sebuah kemampuan seseorang atau makluk yang bisa bertahan
dalam segala posisi dan di wilayah yang positif. Karena, jika ada di ranah negative,
kecerdikan itu akan bermetomorfosis menjadi istilah baru bernama kelicikan. Padalah
keduanya adalah kemampuan seseorang atau makluk untuk mampun survive atau
bertahan dalam segala situasi.
Kecerdikan dan
kelicikan selalu dibenturkan dan sulit diperdamaikan. Saat seseorang dengan
akal pikirannya mampu selamat dari hukuman guru meskipun tidak mengerjakan
PR,maka ia bisa dikatakan cerdik,demi tujuan keselamatannya namun bisa juga ia
dikatakan licik karena mampu berkelit dari segala sesuatu yang mestinya
menimpanya. Sangat sulit untuk menilai tentang hal itu dikategorikan cerdik
atau licik, semua bergantung dari sudut pandang masing-masing subyek (bisa
manusia atau binatang)
Kisah dalam
Kitab Lukas 16 ayat 1-13 menarik untuk dipahami dengan seksama. Dalam kisah
itu, Sang Guru Agung kehidupan menghidangkan menu makanan iman kepda siapa saja
tentang apa itu cerdik dan licik. Tentang batas atau garis demarkasi Antara cerdik
dan licik. Bendahara yang tidak jujur dilihat Sang Guru Agung sebagai orang
yang cerdik. Kecerdikannya terkait dengan kemampuannya “Bertahan “atau “Survive”
dari kemungkinan ancaman kehidupan yang akan menimpanya.
Tema narasi
ini bukan terkait kejujuran,karena kalau tema kejujuran maka bendahara itu sama
sekali tidak jujur. Tema yang diangkat Sang Guru Agung itu adalah tentang
kecerdikan. Sang bendahara sangat paham bahwa tindakannya salah dan oleh
karenanya, bahaya mengancam. Sadar akan ancaman bahaya yang akan menerjangnya,
maka ia segera menggunakan akal sehatnya untuk mengantisipasi jikalau
kemungkinan buruk menimpa dirinya. Di sini yang Guru Agung itu tekankan. Kemampuan
melihat situasi yang sedang dan akan terjadi. Akal yang dimiliki manusia
merupakan karunia terhebat dibandingkan makluk lain, namun sering manusia gagal menggunakannya. Sampai ada sebuah lelucon
tentang ahli bedah yang dihadapkan pada
tiga mayat muda korban kecelakaan.
sebuah kisah mungkin bisa menolong kita berefleksi tentang keberadaan kita sebagai orang Indonesia. Ahli bedah dari Jepang memilih mayat
berkebangsan Eropa, karena besar tubuhnya maka besarpula otaknya. Dia ingin
menggunakan otak korban kecelakaan itu untuk risetnya. Berbeda dengan ahli
bedah Jepang, ahli bedah Inggris memilih korban justru dari jepang, karena kecerdasannya.
Sementara ahli bedah yang ketiga, dari Amerika,yang terakhir harus memilih
korban dari Indonesia. Namun dia tidak kecewa malah bersukaria. Saat ditanya
dua rekannya mengapa senang meski hanya mendapatkan jenasah orang Indonesia
yang tidak memiliki apa-apa,ahli bedah itu menjawab dengan santai.
“Otak orang
yang jadi korban ini pasti masih orisinil,karena dia orang Indonesia yang
sepanjang hidupnya tidak pernah menggunakan otaknya untuk hidupnya”. Serentak kedua
rekannya heran.
Tuhan allah
mengaruniakan akal pikiran ini untuk kebaikan manusia,maka haruslah
dipergunakannya. Bendahara yang dalam narasi di atas memang tidak jujur, namun
ia bisa membaca situasi dengan cerdas dan jeli,dengan cerdik. Itulah yang
dihargai Sang Guru Agung itu.
Terkadang kitapun
jarang menggunakan akal pikiran kita. Sering kita lebih mengedepankan rasa
dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Padahal situasi itu menuntut akal
sehat nan cerdas untuk menyikapinya. Mengapa sering terjadi
konflik,pertengkaran,perpecahan dalam hidup bersama ini?Karena kita terlalu
sering hanya menggunakan rasa,perasaan kita dan meninggalkan aspek pikiran
dalam kecerdikan kita.
Kita sering
sedikit-sdedikit marah,tersinggung,mutung dan mendamprat siapa saja yang kita
rasa menyakitkan kita. Mendapat kritikan langsung ngamuk,marah,demo. Mendapat masukan
positif malah mendamprat yang memberikan masukan. Itu semua karena yang
berkuasa dalam diri kita hanya sekedar rasa dan sama sekali tidak menggunakan
akal pikiran kita. Pikiran yang jernih dan akan menolong menguasahi situasi. Ini
yang diapresiasi baik oleh Sang Guru Agung terhadap bendahara yang dikatakan
tidak jujur di atas.
Sekarang
semua tergantung kepada kita,apakah akan senantiasa mengedepankan rasa atau
cerdik dengan situasi sehingga bisa menggunakan akal dengan tepat?
Semua
kembali kepada kita masing-masing
Salam
diantara gerimis medio september 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar