Jumat, 16 September 2016

KECERDIKAN





Terkadang sulit membedakan atau memilah Antara kecerdikan dan kelicikan. Kecerdikan sering dimaknai sebagai sebuah kemampuan seseorang atau makluk yang bisa bertahan dalam segala posisi dan di wilayah yang positif. Karena, jika ada di ranah negative, kecerdikan itu akan bermetomorfosis menjadi istilah baru bernama kelicikan. Padalah keduanya adalah kemampuan seseorang atau makluk untuk mampun survive atau bertahan dalam segala situasi.
Kecerdikan dan kelicikan selalu dibenturkan dan sulit diperdamaikan. Saat seseorang dengan akal pikirannya mampu selamat dari hukuman guru meskipun tidak mengerjakan PR,maka ia bisa dikatakan cerdik,demi tujuan keselamatannya namun bisa juga ia dikatakan licik karena mampu berkelit dari segala sesuatu yang mestinya menimpanya. Sangat sulit untuk menilai tentang hal itu dikategorikan cerdik atau licik, semua bergantung dari sudut pandang masing-masing subyek (bisa manusia atau binatang)

Kisah dalam Kitab Lukas 16 ayat 1-13 menarik untuk dipahami dengan seksama. Dalam kisah itu, Sang Guru Agung kehidupan menghidangkan menu makanan iman kepda siapa saja tentang apa itu cerdik dan licik. Tentang batas atau garis demarkasi Antara cerdik dan licik. Bendahara yang tidak jujur dilihat Sang Guru Agung sebagai orang yang cerdik. Kecerdikannya terkait dengan kemampuannya “Bertahan “atau “Survive” dari kemungkinan ancaman kehidupan yang akan menimpanya.
Tema narasi ini bukan terkait kejujuran,karena kalau tema kejujuran maka bendahara itu sama sekali tidak jujur. Tema yang diangkat Sang Guru Agung itu adalah tentang kecerdikan. Sang bendahara sangat paham bahwa tindakannya salah dan oleh karenanya, bahaya mengancam. Sadar akan ancaman bahaya yang akan menerjangnya, maka ia segera menggunakan akal sehatnya untuk mengantisipasi jikalau kemungkinan buruk menimpa dirinya. Di sini yang Guru Agung itu tekankan. Kemampuan melihat situasi yang sedang dan akan terjadi. Akal yang dimiliki manusia merupakan karunia terhebat dibandingkan makluk lain, namun sering manusia  gagal menggunakannya. Sampai ada sebuah lelucon tentang ahli bedah  yang dihadapkan pada tiga mayat muda korban kecelakaan. 
sebuah kisah mungkin bisa menolong kita berefleksi tentang keberadaan kita sebagai orang Indonesia. Ahli bedah dari Jepang memilih mayat berkebangsan Eropa, karena besar tubuhnya maka besarpula otaknya. Dia ingin menggunakan otak korban kecelakaan itu untuk risetnya. Berbeda dengan ahli bedah Jepang, ahli bedah Inggris memilih korban justru dari jepang, karena kecerdasannya. Sementara ahli bedah yang ketiga, dari Amerika,yang terakhir harus memilih korban dari Indonesia. Namun dia tidak kecewa malah bersukaria. Saat ditanya dua rekannya mengapa senang meski hanya mendapatkan jenasah orang Indonesia yang tidak memiliki apa-apa,ahli bedah itu menjawab dengan santai.
“Otak orang yang jadi korban ini pasti masih orisinil,karena dia orang Indonesia yang sepanjang hidupnya tidak pernah menggunakan otaknya untuk hidupnya”. Serentak kedua rekannya heran.
Tuhan allah mengaruniakan akal pikiran ini untuk kebaikan manusia,maka haruslah dipergunakannya. Bendahara yang dalam narasi di atas memang tidak jujur, namun ia bisa membaca situasi dengan cerdas dan jeli,dengan cerdik. Itulah yang dihargai Sang Guru Agung itu.
Terkadang kitapun jarang menggunakan akal pikiran kita. Sering kita lebih mengedepankan rasa dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Padahal situasi itu menuntut akal sehat nan cerdas untuk menyikapinya. Mengapa sering terjadi konflik,pertengkaran,perpecahan dalam hidup bersama ini?Karena kita terlalu sering hanya menggunakan rasa,perasaan kita dan meninggalkan aspek pikiran dalam kecerdikan kita.
Kita sering sedikit-sdedikit marah,tersinggung,mutung dan mendamprat siapa saja yang kita rasa menyakitkan kita. Mendapat kritikan langsung ngamuk,marah,demo. Mendapat masukan positif malah mendamprat yang memberikan masukan. Itu semua karena yang berkuasa dalam diri kita hanya sekedar rasa dan sama sekali tidak menggunakan akal pikiran kita. Pikiran yang jernih dan akan menolong menguasahi situasi. Ini yang diapresiasi baik oleh Sang Guru Agung terhadap bendahara yang dikatakan tidak jujur di atas.
Sekarang semua tergantung kepada kita,apakah akan senantiasa mengedepankan rasa atau cerdik dengan situasi sehingga bisa menggunakan akal dengan tepat?
Semua kembali kepada kita masing-masing
Salam

diantara gerimis medio september 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH