Malam sudah usai menunaikan tugasnya dan kemudian siang
menggantikannya. Udara pagi medio mei terasa dingin dan mulai terasa kering,
pertanda kemarau sudah datang menyapa semesta. Semilir angina saat dinihari,
hanya ada saat kemarau tiba dan kini, di pertangahan mei ini, mulai dapa
dirasakan oleh semua penghuni semesta.
Rembulan tanggal 18 dalam hitungan kalender Jawa mulai pucat di atas daun
sukun, di atas sebuah bukit. Rumput basah karena embun menyapaku dengan senyuma
dan kemudian dinginnya seolah membuai kesadaranku, betapa indahnya alam ini ,
alam semesta terkhusus bumi nusantara.
Dari embun pagi ini, dari semilir angin awal kemarau
ini, dari bulan pucat di atas daun sukun ini, menghentak kesadaranku, betapa
indahnya nusantara. Dan saat itu juga, dalam dingin pagi dan teduh cahaya
rembulan serta basah embun, terbakarlah jiwa anak negeri. Tidak rela indahnya
negeri ini tersayat oleh nafsu sebagian manusia berjiwa serigala. Tidak rela
dirampok manusia-manusia kotor berjubahkan agama, yang menanamkan kebodohan
untuk kepuasan mereka.
Jiwa ini terpanggil untuk ikut berjuang dan perjuanganku,
bukan dengan partai politk, bukan dengan bamboo runcing, bukan dengan fitnah,
bukan dengan isu hoax, namun dengan menuliskan pengalaman indahnya alam
nusantara. Jiwa ini tak akan rela indahnya nusantara terkoyak dan terkotori.
Semoga tulisan ini, sebagai awal tulisan-tulisan yang
lain bisa menggugah kesadaran anak-anak negeri untuk menjaga keindahan ini. Menjaga
kerukunan, menjaga keberbedaan, menjaga
harmoni. Semoga sadar mereka yang hanya diam dan baru sadar saat negeri
indah ini diambang perpecahan. Semoga embun bisa menyadarkan, semoga rembulan
dengan sinarnya mampu membangunkan dan semoga semilir angina pagi bisa
menghentak kesadaran anak-anak pertiwi.
Mbahe..
Medio Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar