Selasa, 09 Juni 2015

Tas Kecil dan Sebuah Kenangan Masa Silam



TAS KECIL
Pertigaan itu masih seperti saat beberapa tahun yang lalu aku ada di kota ini. Kota yang dahulu terkenal dengan kesejukannya, kota yang terkenal dengan toleransinya, kerukunan antar masyarakat yang sangat beragam. Lampu pengatur lalulintas itu masih seperti dahulu, dari arah Semarang langsung bisa lurus ke kota, sementara yang berbelok kanan,arah Solo harus bersabar menunggu giliran. Kulangkahkan kakiku menuju kampus yang masih cukup sejuk, sama seperti saat aku ada di dalamnya, pada sebuah waktu yang telah berlalu.

KLIK SAJA


Beberapa hal belum berubah di kampus ini,hanya beberapa bangunan ATM nampak semakin banyak dibandingkan saat aku dahulu di sini. Semilir angin kemarau siang ini cukup menolongku mengatasi  terik mentari yang ternyata sudah sepanas Jakarta,rambutku yang aku biarkan terurai berkibar dipermainkan semilir angin ini, kadang kusibakkan agar tidak menghalangi pandanganku. Rambut yang terurai ini mengingatkanku akan seseorang yang setahuku tinggal di sekitar kota ini, yang selalu memujiku saat melihat rambutku yang terurai begini.
Langsung aku menuju ke kantor administrasi dan kutunggu giliranku menyelesaikan urusan administrasiku. Beberapa karyawan masih aku kenal,meski mereka aku yakin sudah lupa dengan aku. Berisiknya masih sama dengan jamanku dahulu, beberapa mahasiswa asyik dengan Gadged dan alat komunikasi canggih lainnya, beberapa lagi duduk termenung. Aku merasa semakin panas di ruangan ini dan kemudian mencoba bergegas keluar, dan setelah itu aku tahu, mati lampu ternyata. Akhh, Listrik di kota ini, masih saja seperti jamanku kuliah dahulu, sering tiba-tiba mati sehingga mengacaukan semua nafas aktifitas kota ini.
“Bakalan lama nih urusan jika mati lampunya juga lama, padahal aku harus segera kembali ke kota metropolitan,pesawat terbang pukul 17.00.”. Kemudian kuputuskan untuk menuju kantin, yahh..kantin itu,tempat favoritku dahulu,pasti lebih sejuk,seperti namanya, Kantin Rindang.  Segera kuajak kaki ini menuju ke kantin itu,meski aku sendirian,karena memang ini sudah bukan duniaku lagi. Keluar ruang administrasi itu aku belok kiri, melewati deretan mobil-mobil yang sedang parkir, dibawah sejuknya pepohonan rimbun itu.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah bola yang bergulir tepat di arah langkah kakiku. Aku coba berhenti, kuambil bola plastik itu dan kumenunggu untuk melihat, siapa yang bermain bola plastik di area Kampus ini. Mana mungkin ada mahasiswa bermain bola plastik di siang hari seperti ini? Lamunanku sirna saat seorang bocah lelaki berlari sambil terengah, mengejar dan hendak mengambil bola plastik yang sekarang ada dalam penguasaanku ini.
“Astaga, sepertinya aku pernah melihat anak ini, namun di mana ya?Apakah aku pernah bertemu?Atau aku menjumpainya di sebuah mimpi?”hmmmm..
“Maaf tante, boleh saya minta bola itu?”Sapa anak itu santun. Usianya sekitar 7 tahun, hidungnya mancung,rambutnya kriwil. Sepertinya aku kenal atau setidaknya pernah melihat wajah anak ini, namun di mana ya?

SEHAT ITU MAHAL


“Oh, maaf, tante ngalamun. Ini bolamu ya nak?Kamu kok main bola di sini,kamu sekolah di mana?”Aku meneternya dengan beberapa pertanyaan. Dia diam, dan saat kuperhatikan dengan seksama, sepertinya aku pernah melihat guratan wajah yang sama dengan anak ini, tapi siapa,dan di mana?Bingung aku. Anak itu kemudian menerima bola yang kuserahkan, sambil berterima kasih ia mencoba hendak berlari, namun tanganku masih mencoba menahannya.
“Tante, aku mau main bola,juga takut adikku nangis nyari aku.., lepasin tanganku tante...”Santun sekali anak ini. Kemudian aku lepaskan dan entah mengapa, aku tiba-tiba mengikuti jalan di mana anak itu berlari kembali untuk bermain bola. Aneh, tiba-tiba aku seperti dihipnotis anak lelaki itu,anak berusia sekitar tujuh tahun yang seolah mengingatkanku akan sebuah waktu. Iya, waktu dahulu yang telah berlalu dan mungkin telah membatu. Dan kemudian kulihat, anak lelaki itu sedang bermain bola di halaman sebuah Playgroup, dan riang sekali aku melihatnya. Aku mencoba menghindari kecurigaan beberapa ibu-ibu yang sepertinya mengantarkan anak-anak itu bersekolah. Niatku ke kantin aku urungkan. Kuamati wajah anak laki-laki itu,dalam kesibukannya bermain bola, kuyup keringatnya,nada bercandanya,teriakannya,sepertinya aku sangat kenal.
Kucoba membuka ipad dari tas kecilku. Aku akan mencoba mencocokan wajah itu dengan sebuah gambar di dalam salah satu media sosial. Dan,,, Astaga..ternyata dia.....
Aku ingat waktu sekitar duabelas tahun silam. Waktu itu aku sadar, dia mencoba mendekatiku dan aku mencoba menjaga jarak, bukan berarti aku tak respek, aku hanya ingin mengetahui sejauh mana dia menginginkanku. Selama itu aku hanya tahu dari orang lain dan belum pernah terucap langsung, meski pada suatu waktu, dia mengungkapkannya kepadaku. Namun saat itu aku dalam keadaan bingung, pergumulan batin remajaku sepertinya menolak, meski jiwaku terdalam merintih dalam tangisan. Itu semakin diperparah oleh bujuk rayu sahabatku bahwa dia bukan terbaik untukku.
“Lho, tante kok masih di sini?Nunggu anak tante ya?Sekolah di sini juga?”Anak laki-laki itu memudarkan lamunanku, saat mendekatiku serta menyapaku. Dia sudah tidak bermain bola lagi, namun menuntun seorang anak perempuan berusia sekitar 4 tahun yang sudah usai sekolahnya di Playgroup itu. Gadis kecil itu merengek minta minum karena bekal minumannya tumpah terkena bola yang dimainkan kakaknya.
“Iya, eh, tidak, tante sedang nyari teman tante”Jawabku sekenanya.
“Lho, tante ki pie ta, katanya iya kok tidak?”, Anak laki-laki itu menyadarkan kekalutanku. Akhh, kecerdasan itu sungguh aku kenal.
“Dik, makanya lain kali hati-hati naruh tempat minumannya,biar tidak kena bola. Mas ga bawa uang untuk beli minuman”
“Sudahlah, jangan nangis, ayo tante belikan di kantin. Mau kan?” Aku mencoba menawari kedua bocah itu minuman dengan membelinya di kantin.
“Mau tante, tapi, saya tidak bawa uang”Jawab bocah laki-laki itu.
“Tidak mengapa, nanti Tante belikan. Oiya, kalian rumahnya mana,nanti pulang jalan kaki atau dijemput?,Sambil jalan dan menuntun tangan gadis mungil itu aku mencoba menyelidik.
“Rumahku jauh tante, nanti dijemput bapak. Sekarang bapak masih ada urusan, katanya rapat gitu. Bapak tadi bilang nanti jam setengah satu baru selesai”, Anak itu mejawab dengan cerdas dan lancar. Sekali lagi, persis dengan seseorang yang aku kenal dahulu. Aku menuntun gadis kecil itu, dan dia menerimaku seolah sudah kenal dalam waktu yang lama sekali. Waktu terlihat kepayahan, aku dengan cepat menggendong gadis kecil itu. Kurasakan ada sesuatu yang aneh merasuk dalam batinku. Anganku tiba-tiba melambung jauh ke waktu yang kuanggap telah membatu. Ke sebuah kenangan dan yang membawaku pada pilihan. Seandainya dahulu...seandainya waktu itu, nalar dan rasaku bisa sedikit berdamai, mungkin apa yang aku alami ini tidak hanya sekejab dan kebetulan, namun aku akan melakukannya selalu...namun....
“Tante aku jus tomat ya..adik milo saja”, Pinta bocah lelaki itu membuyarkan lamunanku yang kesekian kalinya.
“Iya, minta apa lagi kalian?Kamu nok (aku mencoba memanggil panggilan untuk anak perempuan), mau minta apa lagi?” Tanyaku.
Kemudian kami menikmati minuman dan makanan dalam canda dengan dua bocah yang baru aku kenal itu. Canda tawa mereka seolah memanggil kenanganku akan sebuah waktu yang telah berlalu. Kenangan akan harapan yang pernah terlontar dari mulut seseorang yang ternyata begitu dekat dengan kedua bocah ini. Kemudian, sambil mengamati dua bocah yang asik minum dan makan itu, kutanya nama mereka berdua. Dan ternyata benar. Tidak salah. Gadis kecil itu malah terlihat manja denganku saat kakaknya menggodanya, medekat ke arahku, dan segera kuraih tubuh mungil itu. Kudekap dengan erat. Kemudian aku memangkunya sambil menyuapkan beberapa makanan yang sudah ditunjuknya dan kubayar dengan lunas. Tiba-tiba dadaku terasa sesak,bukan desakan tubuh mungil gadis kecil ini, namun oleh sebuah luka kecil yang pernah kurasakan. Luka yang aku buat sendiri,bukan oleh siapapun, luka yang kubuat karena kearogananku, karena kesombonganku melihat sesuatu hanya dari kilasan pandang dan tidak mencoba melihat jauh lebih kedalam. Celoteh dua bocah itu tidak bisa mengusir sesak dadaku dan itu kemudian memanggil butir-butir air mata bening dari ujung pelupuk mataku. Segera aku mengambil tissue dan kuseka.
“Tante, mengapa tante nangis?”Apa aku salah?Maaf ya tante kalau aku salah”, Gadis kecil itu menyadarkanku. Buru-buru aku tersenyum, meski mungkin terlihat aneh dan kujawab sambil membelai rambut lembut gadis kecil itu.
“Enggak, tante tidak apa-apa”. Jawabku sekenanya. Aku tidak ingin melukai suka cita dua bocah ini dengan air mataku. Dan aku juga tidak ingin bercerita tentang apapun juga kepada keduanya. Biar aku sendiri yang menikmati semua ini.
“Tante, jam berapa ini?”, Tanya anak lelaki itu dan kemudian segera kulihat arloji di tangan kiriku. “Waduh, sudah jam setengah satu lebih nak,ayo kembali ke tempat yang tadi, nanti ayahmu mencari lho”.
“Kami memanggil bukan ayah Tan, tapi bapak”, Jawab anak lelaki itu polos. Akh,,,kembali teringat aku akan sebuah harap yang dikhayalkan oleh seseorang dalam sebuah malam saat camping bersama di sebuah liburan. Bahwa dia nanti tidak akan mau mengajari anak-anaknya memanggil selain bapak dan itu ternyata dijaganya dengan setia.
“Ooo..gitu ta, ya gapapalah, tante ngerti”, Sambil beranjak aku menjawab dan kemudian yang membuatku semakin terharu, gadis mungil itu meminta gendong. Aku menggendongnya menuju ke arah tempat anak kecil itu bermain bola. Namun tiba-tiba ada yang aneh, ada perasaan gemuruh di dadaku. Perasaan yang membuatku seolah sulit melangkah.
“Tante, ayo,jangan ngalamun!”, teriak bocah laki-laki itu. Aneh, sungguh berat aku melanjutkan langkah dan kemudian ingin kurayu gadis mungil itu berjalan sendiri. Dalam anganku akan ada sebuah hal berat yang akan kujumpai jika aku mengantarkan kedua anak ini. Aku tidak siap bertemu dengan bapak dari kedua bocah ini.
“Tante, ayo,,,pasti bapak sudah menunggu dan bingung mencari kami!”, Bocah lelaki itu menarik tanganku. “Nanti aku mau bilang ke bapak bahwa tante sudah membelikan kami minuman dan jajan”. Anak laki-laki itu menjelaskan. Kemudian berlari anak laki-laki itu ke arah awal dia bermain bola. Kemudian, gadis mungil itu ikutan melepaskan diri dari gendonganku dan berlari mengejar kakaknya. Lega rasanya batin ini untuk tidak bertemu dengan bapak dari kedua bocah itu. Namun, astaga...Tas ini.... Tas si gadis kecil itu masih aku bawa. Berarti....?
Kutata hati ini untuk mengantarkan Tas Kecil ini kepada Gadis kecil yang telah membuatku terhisap pada sebuah kenangan masa silam. Harapku, bapak dari kedua anak itu belum datang menjemputnya dan amanlah aku. Kebergegas menuju tempat kedua bocah itu, kulihat mereka tengak-tengok sepertinya mencari sesuatu, mungkin mencari bapaknya. Kudekati anak itu dan kuberikan Tas Kecilnya. “Nak, ini tasnya, kelupaan nanti kebawa Tante lho...”,Sambil memberikan tas kecil itu aku selidik ke segala arah mencoba mendeteksi agar tidak segera datang Bapak kedua bocah ini. Sepi dan aku merasa aman, segera kutinggalkan dua bocah itu meski agak tidak tega aku meninggalkannya sendiri menunggu bapaknya. Namun ini  jalan terbaik,aku tidak mau melihat perubahan dalam diriku jika bertemu dengannya dan itu dilihat anak-anak kecil itu. Biarlah mereka mengenalku dengan bersih dan tidak ada apapun yang membuat mereka kemudian  berbeda sikap. Kutinggalkan dengan menoleh ke arah dua bocah itu, tidak melihat ke arah depan.
Dan kemudian...
Dukkkk...aku menabrak sesuatu,kupandang sesuatu yang aku tabrak itu, Astagaaaaa.......
Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH