TAS
KECIL
Pertigaan itu masih seperti saat beberapa tahun
yang lalu aku ada di kota ini. Kota yang dahulu terkenal dengan kesejukannya,
kota yang terkenal dengan toleransinya, kerukunan antar masyarakat yang sangat
beragam. Lampu pengatur lalulintas itu masih seperti dahulu, dari arah Semarang
langsung bisa lurus ke kota, sementara yang berbelok kanan,arah Solo harus
bersabar menunggu giliran. Kulangkahkan kakiku menuju kampus yang masih cukup
sejuk, sama seperti saat aku ada di dalamnya, pada sebuah waktu yang telah
berlalu.
KLIK SAJA |
Beberapa hal belum berubah di kampus ini,hanya
beberapa bangunan ATM nampak semakin banyak dibandingkan saat aku dahulu di
sini. Semilir angin kemarau siang ini cukup menolongku mengatasi terik mentari yang ternyata sudah sepanas
Jakarta,rambutku yang aku biarkan terurai berkibar dipermainkan semilir angin
ini, kadang kusibakkan agar tidak menghalangi pandanganku. Rambut yang terurai
ini mengingatkanku akan seseorang yang setahuku tinggal di sekitar kota ini,
yang selalu memujiku saat melihat rambutku yang terurai begini.
Langsung aku menuju ke kantor administrasi dan
kutunggu giliranku menyelesaikan urusan administrasiku. Beberapa karyawan masih
aku kenal,meski mereka aku yakin sudah lupa dengan aku. Berisiknya masih sama
dengan jamanku dahulu, beberapa mahasiswa asyik dengan Gadged dan alat
komunikasi canggih lainnya, beberapa lagi duduk termenung. Aku merasa semakin
panas di ruangan ini dan kemudian mencoba bergegas keluar, dan setelah itu aku
tahu, mati lampu ternyata. Akhh, Listrik di kota ini, masih saja seperti
jamanku kuliah dahulu, sering tiba-tiba mati sehingga mengacaukan semua nafas
aktifitas kota ini.
“Bakalan lama nih urusan jika mati lampunya juga
lama, padahal aku harus segera kembali ke kota metropolitan,pesawat terbang
pukul 17.00.”. Kemudian kuputuskan untuk menuju kantin, yahh..kantin itu,tempat
favoritku dahulu,pasti lebih sejuk,seperti namanya, Kantin Rindang. Segera kuajak kaki ini menuju ke kantin
itu,meski aku sendirian,karena memang ini sudah bukan duniaku lagi. Keluar ruang
administrasi itu aku belok kiri, melewati deretan mobil-mobil yang sedang
parkir, dibawah sejuknya pepohonan rimbun itu.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah bola yang
bergulir tepat di arah langkah kakiku. Aku coba berhenti, kuambil bola plastik
itu dan kumenunggu untuk melihat, siapa yang bermain bola plastik di area
Kampus ini. Mana mungkin ada mahasiswa bermain bola plastik di siang hari
seperti ini? Lamunanku sirna saat seorang bocah lelaki berlari sambil terengah,
mengejar dan hendak mengambil bola plastik yang sekarang ada dalam penguasaanku
ini.
“Astaga, sepertinya aku pernah melihat anak ini,
namun di mana ya?Apakah aku pernah bertemu?Atau aku menjumpainya di sebuah
mimpi?”hmmmm..
“Maaf tante, boleh saya minta bola itu?”Sapa anak
itu santun. Usianya sekitar 7 tahun, hidungnya mancung,rambutnya kriwil. Sepertinya
aku kenal atau setidaknya pernah melihat wajah anak ini, namun di mana ya?
SEHAT ITU MAHAL |
“Oh, maaf, tante ngalamun. Ini bolamu ya nak?Kamu
kok main bola di sini,kamu sekolah di mana?”Aku meneternya dengan beberapa
pertanyaan. Dia diam, dan saat kuperhatikan dengan seksama, sepertinya aku
pernah melihat guratan wajah yang sama dengan anak ini, tapi siapa,dan di
mana?Bingung aku. Anak itu kemudian menerima bola yang kuserahkan, sambil
berterima kasih ia mencoba hendak berlari, namun tanganku masih mencoba
menahannya.
“Tante, aku mau main bola,juga takut adikku nangis
nyari aku.., lepasin tanganku tante...”Santun sekali anak ini. Kemudian aku
lepaskan dan entah mengapa, aku tiba-tiba mengikuti jalan di mana anak itu
berlari kembali untuk bermain bola. Aneh, tiba-tiba aku seperti dihipnotis anak
lelaki itu,anak berusia sekitar tujuh tahun yang seolah mengingatkanku akan
sebuah waktu. Iya, waktu dahulu yang telah berlalu dan mungkin telah membatu. Dan
kemudian kulihat, anak lelaki itu sedang bermain bola di halaman sebuah
Playgroup, dan riang sekali aku melihatnya. Aku mencoba menghindari kecurigaan
beberapa ibu-ibu yang sepertinya mengantarkan anak-anak itu bersekolah. Niatku ke
kantin aku urungkan. Kuamati wajah anak laki-laki itu,dalam kesibukannya
bermain bola, kuyup keringatnya,nada bercandanya,teriakannya,sepertinya aku
sangat kenal.
Kucoba membuka ipad dari tas kecilku. Aku akan
mencoba mencocokan wajah itu dengan sebuah gambar di dalam salah satu media
sosial. Dan,,, Astaga..ternyata dia.....
Aku ingat waktu sekitar duabelas tahun silam. Waktu
itu aku sadar, dia mencoba mendekatiku dan aku mencoba menjaga jarak, bukan
berarti aku tak respek, aku hanya ingin mengetahui sejauh mana dia
menginginkanku. Selama itu aku hanya tahu dari orang lain dan belum pernah
terucap langsung, meski pada suatu waktu, dia mengungkapkannya kepadaku. Namun saat
itu aku dalam keadaan bingung, pergumulan batin remajaku sepertinya menolak,
meski jiwaku terdalam merintih dalam tangisan. Itu semakin diperparah oleh
bujuk rayu sahabatku bahwa dia bukan terbaik untukku.
“Lho, tante kok masih di sini?Nunggu anak tante
ya?Sekolah di sini juga?”Anak laki-laki itu memudarkan lamunanku, saat
mendekatiku serta menyapaku. Dia sudah tidak bermain bola lagi, namun menuntun
seorang anak perempuan berusia sekitar 4 tahun yang sudah usai sekolahnya di
Playgroup itu. Gadis kecil itu merengek minta minum karena bekal minumannya
tumpah terkena bola yang dimainkan kakaknya.
“Iya, eh, tidak, tante sedang nyari teman tante”Jawabku
sekenanya.
“Lho, tante
ki pie ta, katanya iya kok tidak?”, Anak laki-laki itu menyadarkan
kekalutanku. Akhh, kecerdasan itu sungguh aku kenal.
“Dik, makanya lain kali hati-hati naruh tempat minumannya,biar
tidak kena bola. Mas ga bawa uang untuk beli minuman”
“Sudahlah, jangan nangis, ayo tante belikan di
kantin. Mau kan?” Aku mencoba menawari kedua bocah itu minuman dengan
membelinya di kantin.
“Mau tante, tapi, saya tidak bawa uang”Jawab bocah
laki-laki itu.
“Tidak mengapa, nanti Tante belikan. Oiya, kalian
rumahnya mana,nanti pulang jalan kaki atau dijemput?,Sambil jalan dan menuntun
tangan gadis mungil itu aku mencoba menyelidik.
“Rumahku jauh tante, nanti dijemput bapak. Sekarang
bapak masih ada urusan, katanya rapat gitu. Bapak tadi bilang nanti jam
setengah satu baru selesai”, Anak itu mejawab dengan cerdas dan lancar. Sekali lagi,
persis dengan seseorang yang aku kenal dahulu. Aku menuntun gadis kecil itu,
dan dia menerimaku seolah sudah kenal dalam waktu yang lama sekali. Waktu terlihat
kepayahan, aku dengan cepat menggendong gadis kecil itu. Kurasakan ada sesuatu
yang aneh merasuk dalam batinku. Anganku tiba-tiba melambung jauh ke waktu yang
kuanggap telah membatu. Ke sebuah kenangan dan yang membawaku pada pilihan. Seandainya
dahulu...seandainya waktu itu, nalar dan rasaku bisa sedikit berdamai, mungkin
apa yang aku alami ini tidak hanya sekejab dan kebetulan, namun aku akan
melakukannya selalu...namun....
“Tante aku jus tomat ya..adik milo saja”, Pinta
bocah lelaki itu membuyarkan lamunanku yang kesekian kalinya.
“Iya, minta apa lagi kalian?Kamu nok (aku mencoba
memanggil panggilan untuk anak perempuan), mau minta apa lagi?” Tanyaku.
Kemudian kami menikmati minuman dan makanan dalam
canda dengan dua bocah yang baru aku kenal itu. Canda tawa mereka seolah memanggil
kenanganku akan sebuah waktu yang telah berlalu. Kenangan akan harapan yang
pernah terlontar dari mulut seseorang yang ternyata begitu dekat dengan kedua
bocah ini. Kemudian, sambil mengamati dua bocah yang asik minum dan makan itu,
kutanya nama mereka berdua. Dan ternyata benar. Tidak salah. Gadis kecil itu
malah terlihat manja denganku saat kakaknya menggodanya, medekat ke arahku, dan
segera kuraih tubuh mungil itu. Kudekap dengan erat. Kemudian aku memangkunya
sambil menyuapkan beberapa makanan yang sudah ditunjuknya dan kubayar dengan
lunas. Tiba-tiba dadaku terasa sesak,bukan desakan tubuh mungil gadis kecil
ini, namun oleh sebuah luka kecil yang pernah kurasakan. Luka yang aku buat
sendiri,bukan oleh siapapun, luka yang kubuat karena kearogananku, karena
kesombonganku melihat sesuatu hanya dari kilasan pandang dan tidak mencoba
melihat jauh lebih kedalam. Celoteh dua bocah itu tidak bisa mengusir sesak
dadaku dan itu kemudian memanggil butir-butir air mata bening dari ujung
pelupuk mataku. Segera aku mengambil tissue dan kuseka.
“Tante, mengapa tante nangis?”Apa aku salah?Maaf
ya tante kalau aku salah”, Gadis kecil itu menyadarkanku. Buru-buru aku
tersenyum, meski mungkin terlihat aneh dan kujawab sambil membelai rambut
lembut gadis kecil itu.
“Enggak, tante tidak apa-apa”. Jawabku sekenanya. Aku
tidak ingin melukai suka cita dua bocah ini dengan air mataku. Dan aku juga
tidak ingin bercerita tentang apapun juga kepada keduanya. Biar aku sendiri
yang menikmati semua ini.
“Tante, jam berapa ini?”, Tanya anak lelaki itu
dan kemudian segera kulihat arloji di tangan kiriku. “Waduh, sudah jam setengah
satu lebih nak,ayo kembali ke tempat yang tadi, nanti ayahmu mencari lho”.
“Kami memanggil bukan ayah Tan, tapi bapak”, Jawab
anak lelaki itu polos. Akh,,,kembali teringat aku akan sebuah harap yang
dikhayalkan oleh seseorang dalam sebuah malam saat camping bersama di sebuah
liburan. Bahwa dia nanti tidak akan mau mengajari anak-anaknya memanggil selain
bapak dan itu ternyata dijaganya dengan setia.
“Ooo..gitu ta, ya gapapalah, tante ngerti”, Sambil
beranjak aku menjawab dan kemudian yang membuatku semakin terharu, gadis mungil
itu meminta gendong. Aku menggendongnya menuju ke arah tempat anak kecil itu
bermain bola. Namun tiba-tiba ada yang aneh, ada perasaan gemuruh di dadaku. Perasaan
yang membuatku seolah sulit melangkah.
“Tante, ayo,jangan ngalamun!”, teriak bocah
laki-laki itu. Aneh, sungguh berat aku melanjutkan langkah dan kemudian ingin
kurayu gadis mungil itu berjalan sendiri. Dalam anganku akan ada sebuah hal
berat yang akan kujumpai jika aku mengantarkan kedua anak ini. Aku tidak siap
bertemu dengan bapak dari kedua bocah ini.
“Tante, ayo,,,pasti bapak sudah menunggu dan
bingung mencari kami!”, Bocah lelaki itu menarik tanganku. “Nanti aku mau
bilang ke bapak bahwa tante sudah membelikan kami minuman dan jajan”. Anak
laki-laki itu menjelaskan. Kemudian berlari anak laki-laki itu ke arah awal dia
bermain bola. Kemudian, gadis mungil itu ikutan melepaskan diri dari
gendonganku dan berlari mengejar kakaknya. Lega rasanya batin ini untuk tidak
bertemu dengan bapak dari kedua bocah itu. Namun, astaga...Tas ini.... Tas si
gadis kecil itu masih aku bawa. Berarti....?
Kutata hati ini untuk mengantarkan Tas Kecil ini
kepada Gadis kecil yang telah membuatku terhisap pada sebuah kenangan masa
silam. Harapku, bapak dari kedua anak itu belum datang menjemputnya dan amanlah
aku. Kebergegas menuju tempat kedua bocah itu, kulihat mereka tengak-tengok
sepertinya mencari sesuatu, mungkin mencari bapaknya. Kudekati anak itu dan
kuberikan Tas Kecilnya. “Nak, ini tasnya, kelupaan nanti kebawa Tante lho...”,Sambil
memberikan tas kecil itu aku selidik ke segala arah mencoba mendeteksi agar
tidak segera datang Bapak kedua bocah ini. Sepi dan aku merasa aman, segera
kutinggalkan dua bocah itu meski agak tidak tega aku meninggalkannya sendiri
menunggu bapaknya. Namun ini jalan
terbaik,aku tidak mau melihat perubahan dalam diriku jika bertemu dengannya dan
itu dilihat anak-anak kecil itu. Biarlah mereka mengenalku dengan bersih dan
tidak ada apapun yang membuat mereka kemudian
berbeda sikap. Kutinggalkan dengan menoleh ke arah dua bocah itu, tidak
melihat ke arah depan.
Dan kemudian...
Dukkkk...aku menabrak sesuatu,kupandang sesuatu
yang aku tabrak itu, Astagaaaaa.......
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar