Jumat, 19 Juni 2015

Sebuah Realita

Pagelaran Terakhir

Adzan Isyak baru selesai berkumandang dari mikrophone tua masjid seberang jalan, sebentar lagi kewajiban akan tertunaikan oleh segelintir umat yang taat. Malam ini rombongan Kethoprak kami mendapatkan kesempatan menghibur penonton di halaman Balai desa seperti tahun-tahun kemarin. Tapi pagelaran tahun ini ada sesuatu yang mengganjal di hati kami, mulai dari banyaknya protes yang tidak setuju jika acara malam puncak seni di desa kami di isi dengan pagelaran kethoprak sampai kondisi kesehatan dari salah satu pemain andalan kami yang kian memburuk.
Bau asap rok*k murahan hasil sumbangan dari warga kami yang kasihan, bercampur dengan aroma bedak hasil patungan kami, mengiringi alunan suara gamelan yang di tabuh para niyogo kami membabar gendhing srepeg mataram terasa mendayu seperti menggambarkan suasana hati kami yang resah.
“Aku kira kamu benar-benar tidak jadi datang” sambutku membuka percakapan.
“Tenang kawan suara gamelan ini yang memaksaku datang lagipula di pagelaran terakhir ini aku tidak ingin mengecewakan penggemarku…” katanya sambil menghisap rok*k dalam-dalam.
“Uhuk… uhuk…!” batuknya memaksa untuk tidak melanjutkan kata-kata yang belum selesai.
“Kamu benar tidak apa-apa?” tanyaku sedikit khawatir, karena pesan singkat dari istrinya yang masuk ke telephon genggamku belum ku hapus “Mas, mohon maaf kondisi mas Didik kurang sehat mas cari penggantinya saja ya” begitu bunyi pesan singkat dari istrinya.
“Nggak apa-apa aku sudah minum obat…” katanya berusaha menyembunyikan sakit.
“Aku jadi apa malam ini…?” tanya nya.
“Biasalah… jadi musuhku… hahahahaha…” kataku sambil menepuk pundaknya.
“Dari dulu kita musuhan terus ya…?” tanyanya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa di panggung kita selalu jadi musuh tapi di belakang panggung kau adalah sahabat terbaiku…” balasku.
“Aku rias dulu… masalahnya aku keluar adegan pertama” katanya sambil ngeloyor ke sudut ruang ganti.
“Ya… kostummu sudah disiapkan sama teman-teman” jawabku.
Tari gambyong pari anom baru saja selesai di suguhkan sebagai tarian wajib untuk sebuah pagelaran kethoprak karena merupakan tarian pembuka yang berfungsi sebagai ucapan selamat datang untuk para penonton.
Adegan per adegan kami lakonkan dengan sepenuh hati, saatnya tiba adegan dimana aku dan dia beradu akting aku memerankan tokoh Ranggalawe dan dia memerankan tokoh Nambi, penonton ikut tegang ketika Ranggalawe tidak setuju dengan keputusan Raden Wijaya yang mengangkat Nambi sebagai Mahapatih Mangku Bumi di Majapahit, mereka seakan ikut hanyut terbawa alur cerita dan seakan kembali ke masa ratusan tahun silam.
Penonton yang tadi sore berjubel memenuhi halaman balai desa kini tinggal separuhnya, mungkin hanya tinggal penonton yang benar-benar pecinta kethoprak, hingga mereka penasaran untuk mengikuti sampai akhir cerita pertunjukan kami, atau bisa jadi mereka adalah orang-orang penderita insomnia, atau mungkin mereka masih menunggu anak-anak mereka yang belum mau diajak pulang.
Sepertiga malam telah berlalu…
selengkapnya di....donise305/inspirasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH