Sore yang cerah. Langit nampak biru di atas gugusan
pegunungan seribu, pesisir Jawa Tengah bagian selatan. Bukit-bukit menghijau
menambah semarak senja dan di antara langit biru, beberapa lembar awan tipis
putih nampak menari dibuai udara sepot di atas sana.
Di sebuah rumah limasan sederhana, nampak Dalijo masih
mengerjakan pekerjaannya, membersihkan tempat makan sapi dan
kambing-kambingnya. Sembari rengeng-rengeng mengidungkan lagu kehidupan. Kata
orang tua “kidung” itu sebuah permainan kata, yaitu “iki dunga”, dan oleh
karena itu Dalijo yakin bahwa nyanyian hatinya meski hanya terdengar
rengeng-rengeng, adalah doa yang indah untuk Sang Kekal.
Saat masih asik dengan
pekerjaannya itu, ada tamu yang hadir, teman satu kampung, Sarno namanya.
Kedekatan dan kebiasaan menjadikan mereka sangat akrab,
hingga tanpa menyapa Sarno langsung duduk di lincak, sebelah barat emperan
rumah Dalijo. Mengambil Panjebar Semangat dan membacanya.setelah mbolak-mbalik
majalah berbahsa Jawa itu dan nampak kurang puas, Sarnomenuju dapur.
“Dal, tehmu habis ta?”, Sapa Sarnodari dalam dapur
milik Dalijo.
“Weh, enggak yo..itu di lemari paling ujung, yang biasa
menaruh plastik. Kemarin beli Sar, namun lupa memindahkan ke tempatnya”, Jawab
Dalijo sembari mengakhiri tugasnya membersihkan tempat makan hewan ternaknya.
Sarno sudah sangat biasa dengan kehidupan Dalijo, juga
dengan rumah Dalijo. Maka ia terbiasa membuat minuman sendiri dan bahkan tak
jarang saat lapar, makan juga di rumah Dalijo. Mereka selalu akrab, mereka
bersahabat. Usai membuat teh dan juga kopi untuk dirinya dan Dalijo,
sahabatnya, Sarnokemudian menuju ke lincak lagi.
Beberapa saat kemudian
Dalijo datang. Keringat masih mengalir dari sekujur badan Dalijo dan itu nampak
dari basahnya kaos bola dengan logo “Manchester United” meski sudah kusam
sekusam wajah Sarno sore itu.
Dalijo duduk di emperan, tembok setengan meter yang
membatasi air supaya saat hujan tidak masuk ke teras itu. Bersandarlah Dalijo
di tiang ujung barat rumahnya, dan sesaat kemudian mengambil sebatang rokok,
menariknya, menyulutnya dan menghisapnya. Rokok berwarna merah buatan kota
Kudus bertuliskan Djarum super.
Angin sepoi bulan Juni menebarkan semaraknya kembali. Dedaunan bermain mesra dengan sesama
daun dan burung-burung masih riang bermain. Di ujung utara sana, di pematang
sawah, nampak bapak ibu tani sedang menyelesaikan masa panennya dan wajah
mereka adalah wajah bahagia purbakala. Seekor burung prenjak mampir di pohon
talok tepat di depan pintu samping timur rumah Dalijo. Berbunyi dengan riang,
seolah dunia tanpa ancaman.
Sarno memandang langit sebelah barat laut, di sana ada
Gunung Mur yang kokoh dan menurut legenda desa itu adalah punjering bumi.
Masalah benar atau salah, tidak ada yang tahu namun semua seolah mengiyakan
mitos tersebut. Wajah Sarno nampak ceria namun guratan gundah nampak takbisa
disembunyikannya. Ada garis hitam diantara senyum cerah itu dan Dalijo
memperhatikan itu semua.
“Mikirkan apa ta Sar, kok wajahmu nampak ada sebaris rona
sedih dan bimbang gitu?”, Begitu Dalijo menyapa sahabatnya itu. Sarno agak
kaget, tak menyangka bahwa apa yang ia sembunyikan itu terbaca juga oleh
sahabatnya yang sederhana namun arif itu.
“Aku yakin kau sudah paham dengan pergumulanku Dal.
Bahkan tanpa aku ceriterakanpun, kau bisa membaca bahasa alam yang membaca
gulana hatiku ini Dal”, Sarno menjawab sembari beringsut mencoba mengambil
sebatang rokok milik Dalijo. Agak aneh
memang melihat Sarno merokok, karena semenjak kecil dia termasuk anak yang
anti rokok, sempat dia dan beberapa kawan membuat grup GMTR yang kalau tidak
salah berarti Generasi Muda Tanpa Rokok.
“Aku bukan Gusti Allah Sar, hanya menduga saja dan tidak
tahu pasti apa yang kau pikirkan”, Balas Dalijo menanggapi pernyataan Sarno. Senja semakin beringsut menuju
malam. Dan udara semakin tenang namun rasa dingin mulai menyeruak ke seluruh
semesta.
“Menurutmu aku kudu piye Dal?”, Sarnoseolah tidak sabar
dengan diamnya Dalijo, Sarno seolah enggan menikmati peralihan senja ke malam.
“Dengarkan kata hatimu karena di dalam hatimu itulah
suara Tuhan. Namun jika hatimu sulit mendengar suaranya sendiri, coba lihat dan
rasakan sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan dan bahkan bertolak belakang dari harapmu, aku tahu, kadang dalam gulanamu kau ingin kembali mengulang masa silam yang sejatinya tidak membuatmu sejahtera. Semua itu datangnya ujug-ujug karena
memang tidak direncanakan. Dia hadir dalam situasi yang berbeda dan bahkan
mungkin jauh dari harapan dan idealisasimu. Namun bukankah kau orang beriman
yang pernah tahu bahwa Tuhan selalu menyapa melalui sesuatu yang diluar rencana
manusia. Kau tipe orang yang kadang arogan dengan prinsipmu, kau kadang enggan
diperhatikan. Padahal sebenarnya engkau membutuhkan perhatian. Kau butuh sosok
yang peduli sepenuh hati, namun kau teramat sombong dengan dirimu, kau seolah
bisa mengatasi semua. Padahal ejatinya kau tidak bisa melakukan itu semua”,
Dalijo menghamburkan kata hatinya untuk sahabatnya tanpa tedeng aling-aling.
Sarno terdiam. Ia sadar betul bahwa apa yang disemburkan
Dalijo itu benar, sangat benar. Luka masa lalunya menjadikan dirinya ingin
nampak kuat meskipun sebenarnya rapuh. Kepahitan masa lalu yang teramat getir
menjadikan dirinya ingin tampil tangguh, namun tidak menyadari keterbatasannya.
Dan Dalijo mengetahui semuanya.
“Benar katamu Dal, aku persis seperti yang kau katakan”,
Jawab Sarno pelan namun nampak penuh kesadaran.
Dalijo kembali mengambil sebatang rokok dan kemudian
menyulutnya, menghisapnya dan diantara remang senja, nampak asap putih mewarnai
udara sekitar mereka berdua. Suara angkak-angkak nyaring terdengar, penanda
senja usai dan malam menyapa. Itulah bahasa alam yang terbaca penduduk dusun
terpencil di gugusan pegunungan seribu, di Jawa Tengah pesisir selatan.
“Sar, rasakan dalam hatimu, siapa yang paling peduli
dengan dirimu. Itulah yang diutus Sang Khaliq untukmu. Siapa yang bisa hadir
sebagai sahabatmu,sebagai ibumu, sebagai mitramu dan bahkan sebagai “lawanmu”,
itulah yang siap menemanimu meniti terjalnya kehidupanmu. Meniti bukit-bukit
berbatu seperti dusun dan hutan kita ini.” Urai Dalijo sembari beringsut.
“Dal, meh nengndi?”, Seru Sarno, agak terkaget karena
usai berkotbah, Dalijo segera pergi.
“Meh adu Fir, dah sore ini lho,”, Jawab Dalijo sembari
meraih gayung tepat peralatan mandi. Dan Dalijopun menuju kali di dekat sawah
yang biasa dia pakai mandi, karena belum punya kamar mandi sendiri. Sarno terdiam, menunggu pulangnya Dalijo sembari mendengarkan suara hatinya.
“Aku sudah yakin dengan pilihanku. Matur nuwun Dal, sudah
menolongku”, Renung Sarno sembari berjalan pulang, lupa bahwa dia sudah
berjanji menanti pulangnya Dalijo dari mandi.
Eromoko, Tepian Juni 2015