Pagi tadi, tanggal 17 maret 2017 saya membaca sebuah WA
dari grup SMA. Yang menjadikan saya kaget setengah hidup, eits..setengan mati
adalah tentang tulisan seperti ini, “Kita sebagai kaum muslim, janga pernah
mengatakan bahwa semua akan indah pada waktunya”, karena itu tulisan yang
berasal dari bible. Tidak layak untuk kita sebagai kaum muslimin mengatakan
kalimat seperti itu, kalimat yang tidak berasal dari kitab suci kita….”
Jujur,
saya sangat kaget dan sempat hampir keluar dari grup. Namun setelah saya
timbang-timbang, saya senyum-senyum sendiri, dan dalam hati berujar, “Ya ampun,
sampai sebegitunyakah relasi hidup kita sebagai manusia, yang telah begitu
dibonsai pemikiran dan perilaku hanya dengan sesuatu yang berbeda?”
Saya berharap sahabat SMA saya itu membaca tulisan saya
ini dan kemudian berefleksi bahwa di dalam hidup ini manusia tidak mungkin bisa
menghindari dengan apa yang dinamakan perjumpaan. Masalah yang dijumpai itu
baik atau tidak juga bergantung dari sikap kita sebagai yang berwenang atas
hidup kita sendiri. Lha kalau hanya berjumpa dengan kalimat yang ada di kitab
orang lain dan itu kemudian menjadikan paranoid, betapa mengerikannya hidup
ini. Mengapa kita tidak berani melintasi batas-batas yang sebenarnya kita buat
sendiri? Apakah berdosa saat kita melintasi batas itu?
Hidup adalah perjalanan dan di dalam perjalanan itu pastilah ada perjumpaan. Setiap perjumpaan, pastilah mengakibatkan perubahan, entah dalam bentuknya yang seperti apa. Selain perjalanan, hidup manusia juga dipenuhi oleh beraneka macam konsep tentang apapun juga. Konsep tentang bahagia, tentang keindahan, tentang keseuksesa, tentang batasan-batasan. Yang terakir ini sangat menarik jika kita menggumulinya, karena memang manusia sering membangun sebuah batasan-batasan atau garis-garis demarkasi di dalam hidupnya. Ada batas demarkasi budaya, demarkasi iman, demarkasi status sosial. Akibat dari semuanya itu adalah jarak atau sekat-sekat khidupan. Dan uniknya, manusia jarang yang mau mencoba mendobrak batas atau garis demarkasi itu, justru senang dengan keberadaannya. Karena dengan adanya batas itu, manusia merasa aman dengan status dirinya.
Namun apa yang menurut manusia nyaman, ternyata tidak
dirasakan nyaman oleh Yesus Sang Guru
kehidupan. Yesus buka tipe orang yang suka dengan batasan-batasan, Yesus ingin
mendobrak itu, ingin menghacurkan dan meniadakan batasan-batasa itu, apalagi
jika batasan-batasan itu justru malah mengurangi makna serta relasi antar umat
manusia. Oleh karenanya, Yesus menabrak,membongkar dan meruntuhkan
batasan-batasan itu.
Narasi Injil Yohanes 4 ayat 5-42 mengajak kita semua
berefleksi betapa batasan-batasan atau garis demarkasi bbudaya itu ada dan bahkan hidup serat dihidupi oleh
manusia itu sendiri. Orang Israel menganggap orang Samaria sebagai warga
berdosa, warga kelas dua sehingga tidak boleh berinteraksi dengan mereka. Pemahaman
itu sudah ada semenjak jaman perpecahan Israel menjadi dua, Yehuda dan Samaria.
Perpecahan yang selalu menyulut konflik, perpecahan yang menjadikan jarak antar
sesama ciptaan itu nampak sebagai sebuah
kebanggaan. Namun Yesus tidak ikut-ikutan memeliharanya, Ia mendobraknya. Perjumpaan
dan percakapannya dengan perempuan Samaria di dekat sebuah sumur itu menjadi
cermin penting untuk kehidupan dari sepanjang jaman.
Keberanian Yesus melintasi batas-batas primordial,batas
kesukuan, batas sosial, batas iman atau agama adalah sebuah teladan untuk kita
semua. Teladan bahwa batas atau jarak itu bukan menuntun orang pada kebaikan,
namun justru menuntun orang pada kecurigaan dan syakwasangka yang selalu negatif.
Dan mengetahui hal seperti ini Yesus mendobraknya, membongkarnya serta
menbangun sebuah model relasi atau hubungan yang tanpa batas. Persoalannya adalah,
beranikah kita meniru jalan sunyi Yesus yang berani melintasi batas, berani
mendobrak sebuah sistem sosial relegius yang sudah sangat begitu kuat?
Kembali ke soal WA teman saya di grup tadi, jika kita
tidak membongkar sebuah batasan-batasan atau garis demarkasi yang ada
disekeliling kita, betapa terbatasnya kehidupan ini? Lalu apa salahnya “nasehat
bijak dari “ si penyair hebat pada masa lalu yang dalam bahasa Jawa disebut Kohelet itu? Betapa dia bisa menyimpulkan
bahwa semua sudah tertata dan karenanya akan indah pada saatnya?
Apakah kita akan bisa menikmati sebuah keindahan dari
sebuah lukisan yang belum jadi?Bukankah lukisan akan terlihat indah saat sudah
usai pembuatannya?Dan oleh karenanya memerlukan waktu?Apakah kita akan
tersenyum menyantap buah masam karena belum saatnya dipetik?Bukankah untuk
menikmati buah sampai masak itu butuh waktu?
Jujur kawan, aku takpaham maksut hidup yang kau jalani,
betapa kau memilih memenjara hidupmu dengan warisan-warisan yang tiada pernah
kaudalami lebih jauh. Sekali lagi harapku, kau akan tersinggung jika membaca
tulisanku ini dan mengontakku. Jujur, aku tidak bisa memahami pemahamanmu.. Dan
harapku, jika kau baca ini dan tidak tersinggung, semoga kau mampu dan berani
mendobrak penjara kehidupanmu..
Selamat Mendobrak apapun juga yang membatasi relasi kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar