Sore yang cerah itu tiba-tiba berubah menjadi gelap karena mendung. Dari arah barat, nampak jelas di atas sebuah bukit yang dikenal oleh warga kampung kami sebagai Gunung Mur, mendung hitam seolah berjalan mendekati dusun kami. Burung-burung yang tadinya berkicau riang mendadak senyap. Dan suasana alam semesta seolah menyeramkan. Semilir angin yang tadinya enak dirasa mendadak menjadi besar dan menggoyangkan dedaunan serta ranting dan bahkan pohon-pohon kecil. Sungguh sangat menyeramkan.
Dan akhirnya hujan disertai angin menghantam dusun kecil di sebuah lembah, di semenanjung pegunungan seribu itu. Hujan pada akhirnya tidaklah sederas yang terbayang dari hitamnya mendung, namun angin yang tadinya sepoi berubah menjadi besar dan menakutkan. Beberapa pohon tumbang dan dahan serta ranting patah. Badai memang seperti gerak alam semsta yang lainnya, selalu jujur dan tidak bisa dimanipulasi.
Akibat badai itu, gubug milik kami yang dibuat almarhum bapak ikutan menjadi korban "keisengan" alam yang bermain-main dengan hujan serta badai. Gubug mungil nan sederhana itu, di dekat pohon mangga tua, di ujung sebuah pematang dan dekat dengan lereng sebuah bukit kecil itu ambruk. Tiang-tiang penyangga gubug itu terlalu rapuh menyangga beban atap dan juga terlalu tua untuk kuat menahan badai.
"Dasar badai tidak tahu diri. Gara-gara dia hadir, gubug bersejarah itu hancur", Demikian gumanku sewaktu mengetahui gubug itu ambruk. Kemudian kudekati gubug yang sudah hancur itu. Ada segurat sedih kurasakan karena di balik Gubug itu ada banyak kisah dengan almarhum kedua orangtuaku. Namun semua sudah runtuh dan jika aku mendirikannya kembalipun, tidak mungkin mengukir kenangan lama tentang almarhum bapak dan simbok.
"Bukan salah badai jika gubug itu ambruk!", Tiba-tiba sebuah suara mampir di telingaku. Aku tidak paham suara siapa karena saat aku tengok kanan dan kiri, tidak ada siapapun. Dan akupun tidak berkeinginan mencari asal suara itu.
"Jangan menyalahkan angin namun karena tiang-tiang penyangga gubug itu yang tidak kokoh yang menyebabkan keruntuhannya", Kembali suara itu mampir di indra pendengaran ini. Aku sama sekali tidak berkeinginan mencarinya karena aku sadar suara itu suara batinku yang selalu menyalahkan "pihak lain" dibandingkan mengkoreksi diriku sendiri.
Sering manusia enggan mengakui sebuah kesalahan jika terjadi persoalan, sering manusia mempersalahkan pihak lain. Seperti gubug runtuh menyalahkan angin, itulah watak dasar manusia. Mempersalahkan pihak yang lain. Perkuatlah dirimu sehingga mampu mengha
dapi semua bencana.
Salam Semesta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Fenomena media sosial yang menggelora tanpa bisa dibendung, menjadikanbanyak orang menjadi was-was, kuatir dan bahkan sudah sampai k tah...
-
Setu Pahing 17 Desember 2022 BENINGE EMBUN ESUK II Samuel 7 : 23-29 Jabur 80 : 1-7, 17-19 Yokanan 3 : 31-36 “ Pramila sapunika P...
-
Selasa Legi 20 April 2021 BENINGE EMBUN ESUK Hosea 5 : 15- 6:6 Jabur 150 2 Yokanan 1 : 1-6 Mulane payo padha tetepungan lan mb...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar