Perlahan aku menoleh. Astaga, suamiku yang menyentuh
punggungku.
“Mengapakah kau di sini istriku? Tidakkah hatimu
berteriak bergetar merasakan sesuatu akan menimpa anak kita itu?”, Suamiku
menyapaku, dengan lembut.
Ada segumpal kedukaan terekam dari getar suaranya. Aku
menyadarinya, meski Anakku itu bukanlah anaknya secara daging, namun kasih
sayangnya kepada Anak pertamaku itu sama dengan anak-anakku yang lain.
Sering aku melihat, sewaktu kecil dan masa remaja,
bagaimana suamiku mendidik,mengarahkan serta menemani anak pertamaku itu dengan
setulus hidupnya, sering kulihat dalam segala letih lelahnya, suamiku meladeni
pertanyaan-pertanyaan dari anak pertamaku yang memang jauh lebih cerdas dari
anak-anak seusiaNya.
“Anak kita tahu, kita mengikutiNya”, Demikian suamiku
melanjutkan kata-katanya. Dan aku hanya mengangguk.
“Aku merasakan sedih tak terbahasakan”, Kataku, kutujukan
ke suamiku, meski tatapan mataku tetap kea rah Lelaki perkasa yang adalah
anakku.
“Anak kita sedang meniti jalan yang dipilihNya, jalan
yang diyakiniNya dan yang menjadi sumber hbahagiaNYa. Sering saat aku dan dia
berdua, saat mencari kayu untuk bahan bangunan,saat istirahat, saat berjalan,
Anak kita berkisah tentang hidupNYa. Dari awal sudah berkata bahwa Dia tidak
akan menikah, meski banyak perempuan tertarik kepadaNYa”, Demikian suamiku
memberikan keterangan, sembari kami melanjutkan lankah, menuju kota, mengikuti
orang banyak dan juga mengikuti anak kami.
Panas kemarau terasa berbeda. Beberapa ekor burung nampak
terbang melintas di atas rombongan banyak orang yang bergerak menuju kota, dan
di depan, ada anak kami. Lelaki yang selama 33 tahun bersamaku, lelaki yang
sedari kecil akrab dengan gendonganku. Anak yang memagut putting susuku kali
pertama, anak yang membasahi tubuhku dengan ompolnya, anak yang tangisanNya
justru adalah bahagiaku.
Beberapa kali kulihat, Anakku itu menoleh dan ternyata
bersamaan dengan tatapanku ke arahNya. Ada cetar membahana tak terbahasakan
saat tatapan kami bersua. Cinta seorang anak kepada seorang ibu, itulah makna
tatapan kami dan kulihat sekilas senyumNya, senyum yang teramat kurindukan,
senyum yang kukenal semenjak terlahir ke dunia ini. Akhh, anakku, akan seperti
apakah diriMu dalam beberapa hari kedepan?
“Ayo melangkah, jangan sampai tertinggal”, ajak suamiku,
saat aku terpana setelah saling bertatap dengan anakku itu. Dan kamipun
melanjutkan perjalanan. Gemuruh sorak-sorai orang banyak masih terdengar,
gemuruh harap akan bebasnya mereka dari derita penindasan orang-orang Romawi
itu. Namun, aku tahu, Anakku tidak memiliki tujuan itu, anakku ingin
membebaskan mereka bukan dari belenggu penjajahan Romawi, anakku ingin
membebaskan hidup mereka seluruhnya.
Di sudut jalan kota rombongan berhenti. Kulihat Anakku
turun dari keledai dan kemudian menjumpai seorang perempuan. Aku tertegun,
sepertinya aku mengenal perempuan itu, namun jarak ini menghalangi pandangku…
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar