Jumat, 23 Maret 2018

Kisah Di Perbatasan Kota

sambungan dari 20 maret 2016

Catatan Hati Seorang Ibu

Perlahan aku menoleh. Astaga, suamiku yang menyentuh punggungku.

“Mengapakah kau di sini istriku? Tidakkah hatimu berteriak bergetar merasakan sesuatu akan menimpa anak kita itu?”, Suamiku menyapaku, dengan lembut. 

Ada segumpal kedukaan terekam dari getar suaranya. Aku menyadarinya, meski Anakku itu bukanlah anaknya secara daging, namun kasih sayangnya kepada Anak pertamaku itu sama dengan anak-anakku yang lain.

Sering aku melihat, sewaktu kecil dan masa remaja, bagaimana suamiku mendidik,mengarahkan serta menemani anak pertamaku itu dengan setulus hidupnya, sering kulihat dalam segala letih lelahnya, suamiku meladeni pertanyaan-pertanyaan dari anak pertamaku yang memang jauh lebih cerdas dari anak-anak seusiaNya.

“Anak kita tahu, kita mengikutiNya”, Demikian suamiku melanjutkan kata-katanya. Dan aku hanya mengangguk.

“Aku merasakan sedih tak terbahasakan”, Kataku, kutujukan ke suamiku, meski tatapan mataku tetap kea rah Lelaki perkasa yang adalah anakku.

“Anak kita sedang meniti jalan yang dipilihNya, jalan yang diyakiniNya dan yang menjadi sumber hbahagiaNYa. Sering saat aku dan dia berdua, saat mencari kayu untuk bahan bangunan,saat istirahat, saat berjalan, Anak kita berkisah tentang hidupNYa. Dari awal sudah berkata bahwa Dia tidak akan menikah, meski banyak perempuan tertarik kepadaNYa”, Demikian suamiku memberikan keterangan, sembari kami melanjutkan lankah, menuju kota, mengikuti orang banyak dan juga mengikuti anak kami.

Panas kemarau terasa berbeda. Beberapa ekor burung nampak terbang melintas di atas rombongan banyak orang yang bergerak menuju kota, dan di depan, ada anak kami. Lelaki yang selama 33 tahun bersamaku, lelaki yang sedari kecil akrab dengan gendonganku. Anak yang memagut putting susuku kali pertama, anak yang membasahi tubuhku dengan ompolnya, anak yang tangisanNya justru adalah bahagiaku.

Beberapa kali kulihat, Anakku itu menoleh dan ternyata bersamaan dengan tatapanku ke arahNya. Ada cetar membahana tak terbahasakan saat tatapan kami bersua. Cinta seorang anak kepada seorang ibu, itulah makna tatapan kami dan kulihat sekilas senyumNya, senyum yang teramat kurindukan, senyum yang kukenal semenjak terlahir ke dunia ini. Akhh, anakku, akan seperti apakah diriMu dalam beberapa hari kedepan?

“Ayo melangkah, jangan sampai tertinggal”, ajak suamiku, saat aku terpana setelah saling bertatap dengan anakku itu. Dan kamipun melanjutkan perjalanan. Gemuruh sorak-sorai orang banyak masih terdengar, gemuruh harap akan bebasnya mereka dari derita penindasan orang-orang Romawi itu. Namun, aku tahu, Anakku tidak memiliki tujuan itu, anakku ingin membebaskan mereka bukan dari belenggu penjajahan Romawi, anakku ingin membebaskan hidup mereka seluruhnya.

Di sudut jalan kota rombongan berhenti. Kulihat Anakku turun dari keledai dan kemudian menjumpai seorang perempuan. Aku tertegun, sepertinya aku mengenal perempuan itu, namun jarak ini menghalangi pandangku…

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH