Selasa, 20 Maret 2018

MEMBACA BAHASA SEMESTA



Hari masih gelap,dan belum banyak manusia yang beranjak dari tempatnya beristirahat. Namun seperti biasa, aku selalu mencoba bangun jauh lebih pagi. Tujuanku adalah ingin menikmati peralihan waktu, antara malam ke siang. Di sana aku akan bisa merasakan dan melihat pergeseran waktu yang nampak lamban, namun pasti.

Deru kendaraan di jalan bebas hambatan tak menghalangiku menyibak pagi, pun begitu dengan dingin. Selalu aku menjumpai keunikan-keunikan semesta yang terhampar dalam segala peristiwa. Pernah aku menjumpai bintang jatuh, pernah kurasakan dinginnya hujan pagi bersama lembutnya embun, pernah kujumpai ramahnya seekor burung kutilang yang terjebak di dahan rendah, semua kunikmati sebagai sebuah keajaiban semesta.

Dan pagi itu, aku kembali meniti pagi. Tiada kabut kulihat, hanya awan agak menghalangi bintang-bintang pagi. Di sana, di lereng bebukitan ujung desa, kudengar nyanyian serangga hutan,yang mengalun bak zimfoni purbakala, menyanyikan lagu cinta untuk siapa saja yang sedang dimabuk cinta. Dan bagikuitu semua adalah keajaiban semesta.

Jalanan menanjak sudah biasa kulalui dan semakin sering aku meniti jalanan ini, semakin ragaku beradaptasi, demikian pula nafasku, tak terlalu terengah. Sesampai di atas, kunikmati alam ini dengan selaksa syukur, dan kurasakan betapa kecilnya diriku dihadapan Sang Abadi, diantara ciptaan-ciptaanNya. Dalam syukur mendalam dan keharuan, mendadak kerasakan kakiku tersentuh sesuatu. Agak dingin,namun lembut dan itu kurasakan bergerak.

Astaga, seekor Ular. Merayap dengan santun, dan kebetulan melintasi jemari kakiku bagian kiri. Awalnya ingin aku bergerak kilat menghindari gesekan Ular yang lumayan besar itu, namun saat kurasakan taka da niatan saling meluka, maka kudiamkan saja. Kuijinkan tubuh ular itu melintas dan kemudian lepaslah semua panjang tubuh itu.  Kemudian kuitatap kea rah merayapnya makluk yang untuk banyak manusia, dibenci karena bisanya yang sangat berbahaya.

Perlahan menghilang, menyelinap di balik rerumputan. Dalam ketertegunanku, kurasakan sebuah bisikan. Bahwa semesta ini tercipta dalam damai yang sempurna. Namun ketakutan dan kekuatiran,serta keserakahan manusialah yang menjadikan harmoni semesta ini semakin terganggu. 

Ketakutanku bisa membuatku bergerak cepat menghindari gesekan tubuh Ular yang merayap itu dan itu akan membuat si Ular terkaget luar bisa dan kemudian mencoba bertahan dengan berbalik menyerang. Jika demikian, biasa jadi kakiku  akan menjadi korban gigitannya dan kemudian aka nada luka.  Luka itu menajamkan dendamku ke binatang ciptaan Sang Pencipta.

Namun saat bisa tenang tanpa terkalahkan ketakutan, maka di situpun tidak ada luka dan dendam. Dan dari semua itu,, kembali aku diajari pemahaman, betapa saling mengerti satu dengan yang lain, saling percaya satu dengan yang lain, adalah syarat mutlak kedamaian dan keharmonisan semesta.

Tinggalkan curiga, tinggalkan takut, tinggalkan kuatir. Sadari bahwa semesta ini tercipta dengan penataan yang smepurna, semua ada demi saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Dan aku kembali dari ritual pagiku dengan semangat baru, menjaga semesta, dengan segala daya yang kupunya.

Salam Cinta Untuk Semesta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH