Hari masih gelap,dan belum banyak manusia yang beranjak
dari tempatnya beristirahat. Namun seperti biasa, aku selalu mencoba bangun
jauh lebih pagi. Tujuanku adalah ingin menikmati peralihan waktu, antara malam
ke siang. Di sana aku akan bisa merasakan dan melihat pergeseran waktu yang
nampak lamban, namun pasti.
Deru kendaraan di jalan bebas hambatan tak menghalangiku
menyibak pagi, pun begitu dengan dingin. Selalu aku menjumpai keunikan-keunikan
semesta yang terhampar dalam segala peristiwa. Pernah aku menjumpai bintang
jatuh, pernah kurasakan dinginnya hujan pagi bersama lembutnya embun, pernah
kujumpai ramahnya seekor burung kutilang yang terjebak di dahan rendah, semua
kunikmati sebagai sebuah keajaiban semesta.
Dan pagi itu, aku kembali meniti pagi. Tiada kabut
kulihat, hanya awan agak menghalangi bintang-bintang pagi. Di sana, di lereng
bebukitan ujung desa, kudengar nyanyian serangga hutan,yang mengalun bak
zimfoni purbakala, menyanyikan lagu cinta untuk siapa saja yang sedang dimabuk
cinta. Dan bagikuitu semua adalah keajaiban semesta.
Jalanan menanjak sudah biasa kulalui dan semakin sering
aku meniti jalanan ini, semakin ragaku beradaptasi, demikian pula nafasku, tak
terlalu terengah. Sesampai di atas, kunikmati alam ini dengan selaksa syukur,
dan kurasakan betapa kecilnya diriku dihadapan Sang Abadi, diantara
ciptaan-ciptaanNya. Dalam syukur mendalam dan keharuan, mendadak kerasakan
kakiku tersentuh sesuatu. Agak dingin,namun lembut dan itu kurasakan bergerak.
Astaga, seekor Ular. Merayap dengan santun, dan kebetulan
melintasi jemari kakiku bagian kiri. Awalnya ingin aku bergerak kilat
menghindari gesekan Ular yang lumayan besar itu, namun saat kurasakan taka da niatan
saling meluka, maka kudiamkan saja. Kuijinkan tubuh ular itu melintas dan
kemudian lepaslah semua panjang tubuh itu.
Kemudian kuitatap kea rah merayapnya makluk yang untuk banyak manusia,
dibenci karena bisanya yang sangat berbahaya.
Perlahan menghilang, menyelinap di balik rerumputan. Dalam
ketertegunanku, kurasakan sebuah bisikan. Bahwa semesta ini tercipta dalam
damai yang sempurna. Namun ketakutan dan kekuatiran,serta keserakahan manusialah
yang menjadikan harmoni semesta ini semakin terganggu.
Ketakutanku bisa
membuatku bergerak cepat menghindari gesekan tubuh Ular yang merayap itu dan
itu akan membuat si Ular terkaget luar bisa dan kemudian mencoba bertahan
dengan berbalik menyerang. Jika demikian, biasa jadi kakiku akan menjadi korban gigitannya dan kemudian aka
nada luka. Luka itu menajamkan dendamku
ke binatang ciptaan Sang Pencipta.
Namun saat bisa tenang tanpa terkalahkan ketakutan, maka
di situpun tidak ada luka dan dendam. Dan dari semua itu,, kembali aku diajari
pemahaman, betapa saling mengerti satu dengan yang lain, saling percaya satu
dengan yang lain, adalah syarat mutlak kedamaian dan keharmonisan semesta.
Tinggalkan curiga, tinggalkan takut, tinggalkan kuatir. Sadari
bahwa semesta ini tercipta dengan penataan yang smepurna, semua ada demi saling
melengkapi satu dengan yang lainnya. Dan aku kembali dari ritual pagiku dengan
semangat baru, menjaga semesta, dengan segala daya yang kupunya.
Salam Cinta Untuk Semesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar