Kembali aku membuka pagi dengan berharap akan menjumpai
kabut. Maka kubangunkan raga dan kesadaranku jauh sebelum siang hadir. Masih dingin,
udara dan kabut masih sangat lembut, angina sangat lembut, bahkan semilirnyapun
takbisa kurasa,saat aku berjalan meniti jalan-jalan kampung di tempatku berdiam
bersama masyarakat yang lain.
Jalanan masih seperti beberapa waktu saat proyek jalan
Tol dibangun, dan saat usai serta beroprasipun belum ada tanda-tanda akan
diperbaiki. Namun justru dengan jalan yang takberaturan ini, bisa kunikmati
betapa berhati-hati saat berjalan itu benar-benar dibutuhkan.
Jalanan menanjak,
gelap masih menaungi tanah dan rerumputan. Nafas usia 40 tahunan dan tubuh 78
kg mengiring inginku menikmati kabut di lereng bukit. Suara deru mobil melesat
di jalan tol ikut menggoda konsentrasiku meniti jalan sepi.
Sesampai di bukit yang terpenggal demi proyek tol,
kulihat bukit sebelah selatan tempatku berada, masih agak hitam, namun di sana
dapat kulihat putih kabut yang memeluk bukit, ada batas jelas di bagian bawah
bukit, sementara beberapa kabut nampak asyik bermain-main dengan mobil-mobil
yang menderu kencang, TAAT kepada sang pengemudi.
Tak tahu juga apa kesan sang pengemudi, sewaktu digoda
kabut itu, mungkin kesal atau bahkan ada juga yang behagia, karena selalu
merindu kabut dengan segala keberadaannya. Dari kabut pagi ini aku belajar apa
itu kesetiaan, apa itu ketaatan. Meski berhak ikut menikmati alam semesta,
namun kabut selalu taat dengan kebijakan semesta.
Saat malam dan dingin serta
tiada udara bergerak, ia, si kabut itu akan hadir dengan sangat nyaman dan
merdeka, seolah malam milik mereka sendiri.
Namun saat ada yang mencoba menghardik mereka, entah itu
manusia, usara ataupun mobil yang bergerak cepat, ia akan TAAT, menyingkir
penuh canda tanpa pernah hendak meluka kepada siapa dan apa saja yang mengusir
mereka. Betapa ketaatannya menjadikan semesta rapi tertata dan sangat teratur. Karena
sejatinya, kabut itu adalah air dalam rupa berbeda, yang sedang meniti jalan
hidupnya dengan setia. Akan tiba saatnya
dia naik bersama kerabatnya, semua kabut, naik keangkasa dan kemudian menyatu,
menjadi mendung dan sewaktu-waktu, jika tiba saatnya, akan menjadi hujan.
Hujan begitu dibutuhkan makluk penghuni semesta ini, dan
itulah kabut dalam wajah yang berbeda. Kabut yang taat serta setia memainkan
peran hidupnya untuk semesta. Dan pagi ini, nuansa TAAT akan mengisi ziarah
iman, mereka yang akan berbakti. Spiritualitas kabut, yang setia serta TAAT,
menjadi nafasku pagi dan sepanjang hari ini.
Salam Kabut
NALEN18032018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar