Minggu, 18 Maret 2018

BERCERMIN DARI KETAATAN KABUT



Kembali aku membuka pagi dengan berharap akan menjumpai kabut. Maka kubangunkan raga dan kesadaranku jauh sebelum siang hadir. Masih dingin, udara dan kabut masih sangat lembut, angina sangat lembut, bahkan semilirnyapun takbisa kurasa,saat aku berjalan meniti jalan-jalan kampung di tempatku berdiam bersama masyarakat yang lain.

Jalanan masih seperti beberapa waktu saat proyek jalan Tol dibangun, dan saat usai serta beroprasipun belum ada tanda-tanda akan diperbaiki. Namun justru dengan jalan yang takberaturan ini, bisa kunikmati betapa berhati-hati saat berjalan itu benar-benar dibutuhkan. 

Jalanan menanjak, gelap masih menaungi tanah dan rerumputan. Nafas usia 40 tahunan dan tubuh 78 kg mengiring inginku menikmati kabut di lereng bukit. Suara deru mobil melesat di jalan tol ikut menggoda konsentrasiku meniti jalan sepi.

Sesampai di bukit yang terpenggal demi proyek tol, kulihat bukit sebelah selatan tempatku berada, masih agak hitam, namun di sana dapat kulihat putih kabut yang memeluk bukit, ada batas jelas di bagian bawah bukit, sementara beberapa kabut nampak asyik bermain-main dengan mobil-mobil yang menderu kencang, TAAT kepada sang pengemudi.

Tak tahu juga apa kesan sang pengemudi, sewaktu digoda kabut itu, mungkin kesal atau bahkan ada juga yang behagia, karena selalu merindu kabut dengan segala keberadaannya. Dari kabut pagi ini aku belajar apa itu kesetiaan, apa itu ketaatan. Meski berhak ikut menikmati alam semesta, namun kabut selalu taat dengan kebijakan semesta. 

Saat malam dan dingin serta tiada udara bergerak, ia, si kabut itu akan hadir dengan sangat nyaman dan merdeka, seolah malam milik mereka sendiri.

Namun saat ada yang mencoba menghardik mereka, entah itu manusia, usara ataupun mobil yang bergerak cepat, ia akan TAAT, menyingkir penuh canda tanpa pernah hendak meluka kepada siapa dan apa saja yang mengusir mereka. Betapa ketaatannya menjadikan semesta rapi tertata dan sangat teratur. Karena sejatinya, kabut itu adalah air dalam rupa berbeda, yang sedang meniti jalan hidupnya  dengan setia. Akan tiba saatnya dia naik bersama kerabatnya, semua kabut, naik keangkasa dan kemudian menyatu, menjadi mendung dan sewaktu-waktu, jika tiba saatnya, akan menjadi hujan.

Hujan begitu dibutuhkan makluk penghuni semesta ini, dan itulah kabut dalam wajah yang berbeda. Kabut yang taat serta setia memainkan peran hidupnya untuk semesta. Dan pagi ini, nuansa TAAT akan mengisi ziarah iman, mereka yang akan berbakti. Spiritualitas kabut, yang setia serta TAAT, menjadi nafasku pagi dan sepanjang hari ini.

Salam Kabut
NALEN18032018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH