Minggu, 21 Januari 2018

Belajar Dari Embun Pagi



Gerimis pagi ini kurasakan berbeda karena membuatku gagal menikmati embun yang senantiasa jernih dan cemerlang. 

Gerimis pagi ini juga kurasakan berbeda, saat kawanku di pagi buta berkabar dan memintaku mencarikan sesuatu. Sudah kuupayakan semampuku,,namun gagal. Maaf kawan, aku gagal memberimu bantuan, meski sederhana. Dan Sang Khaliq memberimu jalan dengan cara berbeda, hadirnya jasa trasportasi online.

Gelisah saat gagal memberi bantuan kepada kawan yang sungguh membutuhkan. Dia dari kota lain di mana aku tinggal. Ke kota tempat aku tinggal karena tugas panggilan hidupnya dan oleh karena itu, keluarga ia bawa. Namun keadaan berkata lain, mantan kekasihnya sakit dan mesti kembali ke kotanya, pagi ini juga. Gelisahku sebenarnya diawali saat aku gagal menemukan karibku saban pagi, yaitu embun.

Jujur saja, sempat aku membenci hadirnya gerimis saat pagi menjelang, karena gerimis akan mengusir embun pagi nan sederhanan namun senantiasa cemerlang. Gerimis kurasakan merampas hakku menikmati indahnya  embun pagi. Semua terasa sempurna saat aku harus berjuang mencarikan sesuatu. Embun kuabaikan dan marahku terhadap gerimispun menguap entah ke mana. Dan saat ada kabar dari kawanku, bahwa apa yang dibutuhkannya sudah ditemukan, ada sebaris suka menggores pagiku.

Kulangkahkan kaki menuju ujung halaman tempat aku numpang hidup dan kemudian kumatikan lampu. Pohon jambu rumah abadi embun pagi itu sudah ditebang hanya demi membeton halaman dan aku tidak punya hak sama sekali menghentikan penebangan itu. Langit di ufuk timur mulai menyibak mendung tipis dan beberapa ekor kelelawar, mulai pulang ke rumah peristirahatannya.

Dingin masih menjagaku dan pagi ini bersama basah, menjadikan suasna semakin bernuansa air. Tak kutemukan lagi embun di cerahnya daun-daun jambu pagi ini, namun ada butiran-butiran air hujan yang menyapa dalam rupa gerimis. Air itu beraneka cara untuk berjumpa dengan pasangan kekalnya, yaitu tanah. Ada yang langsung menghujan dari angkasa, ada yang harus bercumbu dengan dedaunan, namun mereka semua menikmati caranya serta jalannya untuk sampai ke tanah.

Embun pagi ini lebur bersama air hujan dan mereka sepakat bersatu menyapa kekasih abadinya, tanah. Di sana mereka akan bercumbu sesuka hati mereka. Di sana mereka akan berbaur demi memberi kehidupan untuk smeesta ini. Tak ada kebencian embun kepada hujan, meski haknya terpangkas. Tak ada amarah embun meski air hujan menepikan warna hadirnya, justru mereka menyatu demi memberi kehidupan semesta ini lebih berarti dan semakin hidup.

Tanah semakin terang dan aku harus kembali melanjutkan aktifitasku. Salam untuk kawanku dan doaku untuk istrinya, yang juga kawanku di suatu waktu di kota Pelajar. Cepat sembuh kawan dan untuk suamimu..lakukan tugasmu dengan senang hati meski hatimu juga harus memikirkan kesehatan istrimu.

Tuntang, 210112018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH