Rabu, 08 Juni 2016

BELAJARLAH PEDULI



Sulitkah melakukan  pernyataan di atas? Mengapa Sulit,mengapa bisa demikian? Nah, untuk masuk ke dalam statement di atas, perkenankanlah  saya mengutip sebuah kisah nyata yang saya ambil dari buku SEPIA: Kecerdasan Milyuner, Warisan yang Mencerahkan Keturunan Anda.
Ingin Peduli masa depan??  INI CARANYA 
Terdapat sebuah keluarga di Bandung, dengan kepala keluarganya bernama Ahmad (bukan nama sebenarnya). Ahmad adalah seorang berusia tanggung menjelang empat puluhan yang dikarunia delapan orang anak. Ia menghadapi persoalan klasik, yakni kesulitan dalam mengatur rumah tangga bersama istrinya, khususnya dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Ahmad mencoba memecahkan persoalan ini dengan istrinya dengan berbagai kiat, tentu dengan keterbatasan anggaran yang mereka miliki. Mereka telah berupaya mempekerjakan beberapa pembantu rumah tangga paro waktu untuk memecahkan masalahnya, namun kehadiran para pembantu rumah tangga tersebut tidak memecahkan masalah, dan malah membawa banyak masalah baru.
Akhirnya Ahmad ingin menerapkan metode diskusi partisipatif. Ia mengajak lima orang anaknya yang telah berusia 15, 13, 11, 9, dan 7 tahun untuk berembuk dengan ia dan istrinya. “Anak-anak, seperti yang kita ketahui dan lihat sehari-hari, Ibu amat kerepotan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga; dan Bapak hanya bisa sedikit membantu karena harus bekerja mencari nafkah. Hari ini Bapak ingin mengajak rapat keluarga untuk memecahkan masalah ini.”
Ingin Memiliki Bisnis Hebat? INI CARANYA
Untuk memulai rapat itu, Ahmad memberikan saran, “Bagaimana pandangan anak-anak bila kita lakukan pembagian kerja?” Tiba-tiba si sulung menukas dengan tegas, “Menurut saya bukan itu permasalahan sebenarnya.” Kini semua mata dan telinga tersedot pada pembicaraan si sulung.
Si sulung melanjutkan, “Menurut saya, masalahnya ada pada perilaku yang kurang peduli. Tidak peduli sampah tercecer di mana-mana. Tidak peduli piring dan gelas tergeletak di mana-mana. Tidak peduli untuk membereskan alat-alat sholat seusai dipakai. Dan masih banyak ketidakpedulian lain. Jadi bila kita ingin rumah kita lebih bersih, kita harus secara bersama-sama mengubah tingkah laku.”
Ahmad dan istrinya maupun anak-anaknya yang lain terhenyak. “Tampaknya benar juga pandangan si sulung ini,” pikir Ahmad. Maka Ahmad menyambung, “Terus masalahnya adalah bagaimana merealisasikannya dalam bentuk yang lebih praktis. Bagaimana jika kita buat daftar beberapa hal mengenai KEPEDULIAN UNTUK MELETAKKAN SEGALA SESUATU PADA TEMPATNYA yang harus kita ikuti secara bersama-sama, dan tetap diperlukan pembagian tugas yang tidak memberatkan masing-masing?” Anak-anak setuju dengan pendapat Ayahnya ini. Kemudian mereka bersama-sama membuat daftar kepedulian sebagai berikut.
PRINSIP TIDAK BOLEH SALING MENYALAHKAN DALAM BERKOMUNIKASI LETAKKAN SEGALA SESUATU PADA TEMPATNYA
- Kalau lihat sampah bawa ke tempat sampah - Kalau lihat piring/gelas kotor, bawa ke belakang - Kalau habis makan/minum, cuci sendiri piring/gelasnya - Alat-alat sholat kembalikan ke tempatnya - Setelah baca koran, komik, buku, CD kembalikan ke tempatnya - Kalau menggunakan sepeda/motor, masukkan kembali - Habis mandi, handuk diletakkan di tempatnya atau dijemur - Pakaian kotor diletakkan di mesin cuci dan/atau di ember - Bangun tidur, bereskan tempat tidur
Prinsip-prinsip kepedulian ini diketik besar-besar, dicetak, dibaca bersama dan kemudian ditempelkan di beberapa tempat di rumah. Hari demi hari berlalu, hal yang mengejutkan benar-benar terjadi. Istri Ahmad merasakan suatu perubahan besar. Rumah menjadi selalu bersih, tidak perlu pembantu sama sekali. Namun, Ahmad dan istrinya menyadari sepenuhnya, bahwa REVOLUSI KEPEDULIAN ini bisa berlangsung terus atau sebaliknya segera surut lagi. Secara rutin, Ahmad mengumpulkan anak-anak dan istrinya untuk rapat membicarakan masalah keluarga. Pada kesempatan itu Ahmad selalu berusaha memuji perubahan yang telah dilakukan oleh seluruh keluarga sehingga rumah menjadi lebih bersih. Dan pada kesempatan itu pula, Ahmad minta dokumen KEPEDULIAN yang telah dihasilkan oleh rapat yang lalu tersebut diulang dibaca dan dikaji bersama-sama.
Seperti yang kita lihat bersama cerita di atas. Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa, ketakpedulian terhadap sekitar adalah sama dengan ketakpedulian terhadap diri sendiri. Hal ini bisa terjadi, disebabkan oleh karakter yang kita bangun sendiri. Adalah mustahil kita mengharapkan yang lebih baik pada diri sendiri, padahal kita tidak berusaha untuk memperbaiki karakter kita.
Jelas terlihat bahwa, dalam sebuah keluarga – bahkan dalam masyarakat – keterikatan antara elemen yang ada merupakan bagian penting dalam mencapai harapan bersama. Keluarga (setiap anggota keluarga) tersebut mengharapkan rumah selalu dalam keadaan bersih, tetapi “perilaku cuek” setiap elemen justru tidak mengakibatkan harapan tersebut terjadi. Ketakpedulian terhadap sekitar ini justru berdampak langsung terhadap diri sendiri. Ini sama saja bahwa kita sendirilah yang tak peduli terhadap diri kita sendiri.
Biasanya, ketakpedulian terhadap diri sendiri mengakibatkan dampak yang lebih buruk lagi. Ketika harapan kita tak terwujud – dan mustahil terwujud, jika kita masih “berperilaku cuek” – yang sering terjadi adalah kita menyalahkan orang lain. “Ini kan salah dia!”, bersit kita dalam hati. Atau, jika tak menemukan orang lain untuk disalahkan, yah menyalahkan diri sendiri.
Andrew Matthews mengatakan, “Hidup akan berubah jika kita berubah!” Yah, saya kira apa yang Andrew katakan benar adanya. Kita mustahil mendapatkan sesuatu, jika kita sendiri tidak berubah/berusaha mendapatkannya. Apa yang terjadi pada diri kita, merupakan hasil dari apa yang kita kerjakan. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih baik, yah kerjakanlah sesuatu untuk mendapatkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH