Jumat, 21 Agustus 2015

Sudah Bebaskah Saudara?



MEMAKNAI HIDUP SETELAH DIMERDEKAKAN KRISTUS[1]


Siang yang panas, saat waktu tepat menunjukanpukulm12.05. waktu istirahat siang bagi semua pegawai di daerah itu. Dua orang perempuan berjalan bersama menuju sebuah kios penjual makanan. Dua perempuan itu adalah karyawan salah satu Perusahaan di sebuah kawasan Industri, itu bisa terlihat dari pakaian seragam yang dipakai mereka berdua. Meski langkah mereka terlihat santai dan nampak riang, namun di wajah mereka nampak sedang memendam sesuatu. Lapar. Yah, mereka nampak sedang merasakan kelaparan. Dan mereka sadar bahwa waktu istirahat mereka tidaklah lama, maka mereka harus memanfaatkan waktu seoptimal mungkin. Mereka akhirnya sampai pada sebuah kios penjual makanan,namun agak aneh,meski saat itu waktu istirahat yang semstinya kios itu ramai oleh karyawan yang hendak makan siang, namun kios itu tergolong cukup sepi dari pembeli. Kemudian mereka berdua masuk untuk memesan makanan, dan nampaknya mereka akan meminta dibungkus untuk dimakan di dekat tempat istirahat mereka daripada dimakan di kios makanan itu. Saat memsan makanan, mereka berdua mendapati sesuatu yang unik. Si Penjual makaanan itu sama sekali tidak bersikap ramah kepada mereka berdua saat melayani pesanan mereka. Hal itu yang membuat salah satu perempuan yang memesan  makanan itu cemberut dan kemudian juga meladeni tindakan tidak ramah si Penjual makanan.
Hal ini berbeda dengan perempuan satunya, yang terlihat lebih santai,lebih tenang dan selalu tersenyum menanggapi perlakuan Si Penjual Makanan itu. Hal ini yang membuat temannya,perempuan yang satunya heran dan semakin merasa kesal bahwa tindakannya menanggapi ketidakramahan penjual makanan itu tidak didukung oleh rekannya. Maka, setelah usai membeli makanan dan mereka berbegas menuju tempat beristirahat untuk menikmati makanan itu, dalam perjalanan perempuan yang menanggapi kecemberutan Si Penjual Makanan itu menegor atau mengklarifikasi sikap kawannya yang tidak menanggapi kecemberutan Si Penjual itu dan malah tetap tenang menyikapinya. Dengan santai pula Perempuan yang tidak menanggapi sikap Si Penjual Makanan itu  menjawab, bahwa ia telah merdeka,telah bebas dari kemungkinan perangkap sikap dan tindakan orang lain. Ia akan bersikap baik meski orang lain tidak bersikap baik terhadapnya. Ia telah bebas.
Narasi di atas hendak mengajak kita merenungkan makan merdeka dalam hidup kita. Merdeka atau bebas yang sejati adalah ketika tindakan hidup kita sebagai manusia tidak tergantung atau dipengaruhi oleh apa dan siapa saja. Filsuf Imanuel Kant memaparkan idenya tentang manusia dan tindakan, yang salah satunya mengatakan bahwa bertindak baik bukan karena dipengaruhi oleh apa dan siapapun namun karena ingin bertindak baik. Dua perempuan dalam narasi di atas hendak mewakili pilihan sikap hidup kita, mau bersikap atas dasar sikap orang lain atau bersikap atas dasar jiwa kebenaran (Jiwa Illahi) dalam hati nurani kita. Sejatinya sikap perempuan yang menanggapi ketidakramahan penjual makanan tadi adalah wujud “Keterjajahan” hidup. Ia (Perempuan itu) masih tertawan atau terjajah oleh sikap atau tindakan yang lain untuk menentukan sikap dan tindakannya. Sementara rekannya tidak, ia bersikap dan bertindak sesuai dengan suara Illahi benar dalam dirinya sehingga tidak terpengaruh oleh sikap dan tindakan tidak baik yang lain.
Dalam sebuah surat cintanya kepada Jemaat di Galatia, Rasul Paulus memberikan nasehat tentang bagaimana memaknai kemerdekaan setelah menerima kemerdekaan. Menurut Paulus, kemerdekaan atau kebebasan itu adalah keadaan asli atau murni dalam setiap diri atau pribadi manusia tanpa adanya tuntutan dari pihak manapun,baik itu sistem beragama,tradisi nenek moyang dan juga peraturan-peraturan yang lain. Menurut Paulus pula, berbuat baik (taat kepada Tuhan/Allah) itu bukan semata karena peraturan agama atau semata itu tuntutan agama, namun berbuat baik karena ingin berbuat baik. Ini sejatinya sebagai sebuah kritik bagi kaum beragama, yang melakukan kebaikan dan ritus agam hanya karena keinginan untuk tidak dikatakan jahat. Sama seperti para pengendara kendaraan bermotor di negeri ini yang taat menggunakan atribut berkendara bukan karena panggilan batin namun hanya karena takut ditilang polisi. Mungkin juga sama dengan saudara-saudara di sini yang hadir dalam ibadah hari ini (jumat) hanya karena tidak tahu meski mengisi waktu kosong dengan kegiatan apa, atau datang hanya karena ajakan (bahkan paksaan) dari teman.
Dalam konteks pergumulan jemaat Galatia, perihal kebebasan atau kemerdekaan memang menjadi masalah pokok. Dua kubu jemaat berbeda latar belakang budaya memiliki pandangan berbeda tentang bagaimana menjalani iman mereka. Dalam konteks inilah Rasul Paulus memberi nasehat untuk memaknai kebebasan/kemerdekaan sesuai dengan panggilan hati nurani dan bukan sekedar sesuai dengan aturan-aturan agama. Hukum agama bukan jalan namun hanya penunjuk arah sebuah perjalanan, jadi betapa keblingernya manusia yang menjalani hidup hanya sesuai dengan petunjuk dan bukan melewati jalan itu sendiri. Beberapa jemaat Galatia yang berbudaya Yahudi memaksakan aturan agamnya untuk diikuti secara umum siapa saja dan dari latar budaya apa saja, ini yang dikecam Rasul Paulus. Dan gaya beragama seperti ini ironisnya justru marak di jaman yang oleh kaum pandai dinamakan jaman Post Modernisme. Semua mencoba mengindentifikasi sebuah budaya dan peradaban ribuan tahun yang lalu yang sisa-sisa peninggalannya telah tertimbun debu jaman.
Kita semua telah merdeka, baik sebagai pribadi atau sebagai bangsa, namun masalahnya adalah, sejauh mana kita memberi makna bebas atau merdeka ini?Sejauh suara batin yang di dalamnya kita yakini bersemayam Yang Illahi atau sejauh hukum-hukum agama saja?
Selamat bergumul
salam


[1] Disampaikan dalam renungan pembinaan Rohani Karyawan PT Apacinti, Kec. Bawen Kab Semarang pada hari jumat tanggal 21 Agustus 2015 jam 11.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH