MEMAKNAI
HIDUP SETELAH DIMERDEKAKAN KRISTUS[1]
Siang yang panas, saat waktu tepat
menunjukanpukulm12.05. waktu istirahat siang bagi semua pegawai di daerah itu. Dua
orang perempuan berjalan bersama menuju sebuah kios penjual makanan. Dua
perempuan itu adalah karyawan salah satu Perusahaan di sebuah kawasan Industri,
itu bisa terlihat dari pakaian seragam yang dipakai mereka berdua. Meski langkah
mereka terlihat santai dan nampak riang, namun di wajah mereka nampak sedang
memendam sesuatu. Lapar. Yah, mereka nampak sedang merasakan kelaparan. Dan mereka
sadar bahwa waktu istirahat mereka tidaklah lama, maka mereka harus
memanfaatkan waktu seoptimal mungkin. Mereka akhirnya sampai pada sebuah kios
penjual makanan,namun agak aneh,meski saat itu waktu istirahat yang semstinya
kios itu ramai oleh karyawan yang hendak makan siang, namun kios itu tergolong
cukup sepi dari pembeli. Kemudian mereka berdua masuk untuk memesan makanan,
dan nampaknya mereka akan meminta dibungkus untuk dimakan di dekat tempat
istirahat mereka daripada dimakan di kios makanan itu. Saat memsan makanan,
mereka berdua mendapati sesuatu yang unik. Si Penjual makaanan itu sama sekali
tidak bersikap ramah kepada mereka berdua saat melayani pesanan mereka. Hal itu
yang membuat salah satu perempuan yang memesan
makanan itu cemberut dan kemudian juga meladeni tindakan tidak ramah si
Penjual makanan.
Hal ini berbeda dengan perempuan satunya, yang
terlihat lebih santai,lebih tenang dan selalu tersenyum menanggapi perlakuan Si
Penjual Makanan itu. Hal ini yang membuat temannya,perempuan yang satunya heran
dan semakin merasa kesal bahwa tindakannya menanggapi ketidakramahan penjual
makanan itu tidak didukung oleh rekannya. Maka, setelah usai membeli makanan
dan mereka berbegas menuju tempat beristirahat untuk menikmati makanan itu,
dalam perjalanan perempuan yang menanggapi kecemberutan Si Penjual Makanan itu
menegor atau mengklarifikasi sikap kawannya yang tidak menanggapi kecemberutan
Si Penjual itu dan malah tetap tenang menyikapinya. Dengan santai pula
Perempuan yang tidak menanggapi sikap Si Penjual Makanan itu menjawab, bahwa ia telah merdeka,telah bebas
dari kemungkinan perangkap sikap dan tindakan orang lain. Ia akan bersikap baik
meski orang lain tidak bersikap baik terhadapnya. Ia telah bebas.
Narasi di atas hendak mengajak kita merenungkan
makan merdeka dalam hidup kita. Merdeka atau bebas yang sejati adalah ketika
tindakan hidup kita sebagai manusia tidak tergantung atau dipengaruhi oleh apa
dan siapa saja. Filsuf Imanuel Kant memaparkan idenya tentang manusia dan
tindakan, yang salah satunya mengatakan bahwa bertindak baik bukan karena
dipengaruhi oleh apa dan siapapun namun karena ingin bertindak baik. Dua perempuan
dalam narasi di atas hendak mewakili pilihan sikap hidup kita, mau bersikap
atas dasar sikap orang lain atau bersikap atas dasar jiwa kebenaran (Jiwa
Illahi) dalam hati nurani kita. Sejatinya sikap perempuan yang menanggapi
ketidakramahan penjual makanan tadi adalah wujud “Keterjajahan” hidup. Ia (Perempuan
itu) masih tertawan atau terjajah oleh sikap atau tindakan yang lain untuk
menentukan sikap dan tindakannya. Sementara rekannya tidak, ia bersikap dan
bertindak sesuai dengan suara Illahi benar dalam dirinya sehingga tidak
terpengaruh oleh sikap dan tindakan tidak baik yang lain.
Dalam sebuah surat cintanya kepada Jemaat di
Galatia, Rasul Paulus memberikan nasehat tentang bagaimana memaknai kemerdekaan
setelah menerima kemerdekaan. Menurut Paulus, kemerdekaan atau kebebasan itu
adalah keadaan asli atau murni dalam setiap diri atau pribadi manusia tanpa
adanya tuntutan dari pihak manapun,baik itu sistem beragama,tradisi nenek
moyang dan juga peraturan-peraturan yang lain. Menurut Paulus pula, berbuat baik
(taat kepada Tuhan/Allah) itu bukan semata karena peraturan agama atau semata
itu tuntutan agama, namun berbuat baik karena ingin berbuat baik. Ini sejatinya
sebagai sebuah kritik bagi kaum beragama, yang melakukan kebaikan dan ritus
agam hanya karena keinginan untuk tidak dikatakan jahat. Sama seperti para
pengendara kendaraan bermotor di negeri ini yang taat menggunakan atribut
berkendara bukan karena panggilan batin namun hanya karena takut ditilang
polisi. Mungkin juga sama dengan saudara-saudara di sini yang hadir dalam
ibadah hari ini (jumat) hanya karena tidak tahu meski mengisi waktu kosong
dengan kegiatan apa, atau datang hanya karena ajakan (bahkan paksaan) dari
teman.
Dalam konteks pergumulan jemaat Galatia, perihal
kebebasan atau kemerdekaan memang menjadi masalah pokok. Dua kubu jemaat
berbeda latar belakang budaya memiliki pandangan berbeda tentang bagaimana
menjalani iman mereka. Dalam konteks inilah Rasul Paulus memberi nasehat untuk
memaknai kebebasan/kemerdekaan sesuai dengan panggilan hati nurani dan bukan
sekedar sesuai dengan aturan-aturan agama. Hukum agama bukan jalan namun hanya penunjuk
arah sebuah perjalanan, jadi betapa keblingernya manusia yang menjalani
hidup hanya sesuai dengan petunjuk dan bukan melewati jalan itu sendiri. Beberapa
jemaat Galatia yang berbudaya Yahudi memaksakan aturan agamnya untuk diikuti
secara umum siapa saja dan dari latar budaya apa saja, ini yang dikecam Rasul
Paulus. Dan gaya beragama seperti ini ironisnya justru marak di jaman yang oleh
kaum pandai dinamakan jaman Post Modernisme. Semua mencoba mengindentifikasi
sebuah budaya dan peradaban ribuan tahun yang lalu yang sisa-sisa
peninggalannya telah tertimbun debu jaman.
Kita semua telah merdeka, baik sebagai pribadi
atau sebagai bangsa, namun masalahnya adalah, sejauh mana kita memberi makna
bebas atau merdeka ini?Sejauh suara batin yang di dalamnya kita yakini
bersemayam Yang Illahi atau sejauh hukum-hukum agama saja?
Selamat bergumul
salam
[1] Disampaikan
dalam renungan pembinaan Rohani Karyawan PT Apacinti, Kec. Bawen Kab Semarang
pada hari jumat tanggal 21 Agustus 2015 jam 11.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar