Senin, 22 Juli 2013

HUJAN


Bukan hal yang baru memang yang sedang terjadi. Hujan. Ya..hujan. sebuah peristiwa alam biasa yang menyapa tanah kami, negri kami. Maklum tanah kami ada di bentangan katulistiwa sehingga kami dihadiahi iklim tropis. Iklim yang mana hanya mengenal dua macam musim. Penghujan dan kemarau. Meskipun kadang-kadang ada daun-daun yang gugur dan juga ada yang semi, pada suatu waktu. 

Seperti hari-hari yang telah lewat, hujan  terjadi lagi sore ini. Deras sekali. Bahkan diikuti tiupan angin amat kencang yang menggoyang-goyangkan daun-daun buah-buahan di sekitar tempatku berteduh sekarang ini. Daun yang menguning dan kering tak kuat menahan ganasnya angin lalu terbang dihantarkan angin. Tidak tahu akan ke mana angin itu menghantarkan mereka pada sebuah kehidupan yang lain.   

Petir menyambar. Dalam gelap semakin nyata terlihat kilatan cahanya.  Semua rumah nampak rapat menutup pintunya. Mendung semakin gelap. Meskipun hari belumlah malam namun karena hujan dan mendung yang masih menghitam menjadikan suasana nampak lebih terasa dan terlihat malam. Mungkin juga menyeramkan, untuk beberapa orang, namun bagiku tidak.

****
Seperti hari-hari yang telah lalu, aku melakukan aktifitasku. Sepulang bekerja aku mencari kesibukan. Mencari segala cara untuk tidak segera sampai dan tinggal di rumah. Aku amat jarang berada lama di rumah. Pagi berangkat kerja, pulang sore. Mampir tempat-tempat yang menyenangkan atau lebih tepatnya memuaskanku. Aku menemukan duniaku. Aku menemukan kenyamananku. Aku tidak peduli dengan rumahku. Dengan anak dan istriku, dengan segala tetekbengek urusan rumah. Bagiku, tugasku selesai dengan bekerja. 

Selesai ketika tiap awal bulan aku berikan jatah keperluan keluargaku. Aku sudah memperhitungkan semua. Dan aku yakin sudah lebih dari cukup. Dan karena itu aku merasa sudah selesai tugasku. Hujan semakin deras dan senja semakin gelap. Mungkin ini kebetulan juga karena listrik padam. Tidak tahu apa alasan PLN memadamkan listrik. Kadang aku juga merasa kesemenaan PLN.Dingin semakin menusuk tulang. Di bawah halte, bersama dengan beberapa orang yang mungkin tidak sengaja berteduh aku ada. Tiupan angin semakin kencang. Hujan semakin bertambah deras. Sebelahku, seorang lelaki ,masih muda. Dalam dingin, hujan dan angin tiba-tiba laki-laki muda itu mengambil handphone. 

Sebentar kemudian tedengar percakapan dengan seseorang di seberang sana. Sekejap berubah wajah lelaki itu. Agak pucat dan terlihat kuatir. “Di rumah listrik padam, air meluap dan genteng rumah ada yang diterbangkan angin. Air masuk rumah sementara istri tidak mampu mengatasi semua. Anak masih ada yang balita” demikian jawab lelaki itu manakala ada seorang bapak-bapak yang mencoba menanya gelisahnya. Waktu ada bus berhenti dan meskipun terlihat penuh ia bergegas dan masuk. Ternyata semakin sedikit saja yang tinggal berteduh. Akupun diam. Angin masih kencang dan aku mencoba mengusir dingin dengan menyalakan sebatang rokok. Semakin sepi.

Makin lama makin sepi, namun dingin semakin menjadi. Tak kuketahui dari mana tiba-tiba ada yang menyapaku. Ternyata tetanggaku. Mengajakku untuk pulang. Dia menawarkan tumpangan menaiki motornya dan karena ada mantel dua akupun menerima tawarannya untuk pulang. Hujan semakin deras. Sepanjang perjalanan tiada percakapan karena memang terhalang gemuruh hujan yang tak terkira. Semakin dingin. Meskipun sepi namun pikiranku tiba-tiba memikirkan lelaki muda yang gelisah setelah bertelefon dengan istrinya di rumah tadi. Aku bingung, kenapa aku mesti ikut memikirkan rumah? Kenapa aku tiba-tiba terpengaruh lelaki tadi? Aku berjuang menghardik pikiran-pikiran tentang keadaan rumah, aku yakin semua baik-baik saja. Tidak ada terjadi sesuatu seperti yang terjadi  di tempat lelaki muda tadi. Perjalanan tidak bisa cepat. Pandangan terhalang dan meskipun hujan, jalan amat sangat padat.  “Anakku dan istriku dirumah ?” Akhhh...kenapa pikiran itu selalu menghantui aku. Kucoba meyakinkan pikiranku bahwa dirumahku baik-baik saja. Namun pikiranku itu malah semakin erat mencengkeramku.

***********************************

Aku sampai di daerah tempat aku tinggal. Hujan masih menumpahkan gejolaknya seperti langit menumpahkan seluruh isi dan kerinduannya pada bumi. Aku turun di jalan kampung, aku tidak mau tetanggaku itu terepotkan lebih dari itu. Meskipun dia mau mengantarkan aku, namun aku menolaknya dengan halus. Aku berjalan, membiarkan tubuh dan pakaianku basah. Gelap karena ternyata lampu belum menyala. Aku bergegas karena pikiran tentang anak dan istriku semakin kuat mempengaruhi aku. Sampai pintu depan rumah aku melepas sepatu, mengetok pintu. Anakku yang berusia lima tahun, laki-laki, membuka pintu. Terlihat kaget dia, karena tidak pernah bapaknya pulang jam segini. Demikian pula istriku, seperti terperanjat  waktu aku masuk.“Bapak, kok sudah pulang?”, anakku yang pertama membuka pintu. Aku diam dengan pertanyaannya itu. Aku hanya mengangguk. Istriku juga diam, namun segera ke dapur sambil menggendong  si kecil, dalam gelap dan dingin hujan, membuatkan aku minuman yang aku suka. Coffemix. Aku segera ke kamar mandi. Mandi dengan air hangat yang memang ada di kamar mandiku. Segar tubuh ini. Namun tidak dengan pikiranku. Meskipun sudah di rumah dan bersama anak istri, namun pikiranku masih tertuju kepada lelaki muda tadi. Usai aku mandi aku keluar, ke tempat jemuran pakaian. Ada sisa  pecahan genteng. Tidak banyak memang, namun masih baru. Di sebelahnya ada kain pel juga masih basah. Bukan karena kena air hujan, namun seperti habis dipakai ngepel. Ada apa ini? Aku masuk, duduk. Masih gelap. Anakku yang pertama masih mengekor ibunya yang masih menggendong si kecil. Masih hujan di luar. Dan dingin itu masih erat memeluk kehidupan ini.


Gelas berisi air panas dan seduhan coffeemix itu aku angkat, sudah agak dingin lalu aku minum. “Tadi ada apa , kok ada bekas genteng pecah dan kain pel masih basah?” Aku membuka keheningan dengan bertanya. Tidak ada yang aku tuju dalam pertanyaanku, meskipun dari nada bahasanya tertuju pada istriku, ibunya anak-anak.  Hujan masih deras, alam seperti mau terbungkus air,mungkin dulu zaman nabi Nuh seperti ini keadaannya. Semakin gelap pula, dan listrik belum menyala.
“Tadi ada angin gede ayah, ada petir dan angin itu yang menjatuhkan genteng rumah kita..” anakku yang pertama menjawab dengan polos. Jujur sekali jawaban itu, suara yang jarang sekali aku dengar.
“Terus, siapa yang ngganti gentengnya, siapa yang sudah ngepel lantai kok sudah kering?” aku seperti ingin menumpahkan gejolak dalam pikiran yang tiba-tiba ada sepanjang hujan sore ini. Aku lontarkan pertanyaanku dengan bebas dan tegas. Semua diam. Anakku tidak menjawab. Istriku masih menyusui si kecil. Sepi dan gelap. Di luar hujan belum mau reda. Gemuruhnya menelan suara serangga malam. Angin kadang masih bertiup. Semakin menambah dingin suasana.
Masih dingin. Dan malam semakin terasa menusuk tulang. Sunyi...!
“Tadi hujan amat deras beserta angin. Seperti badai. Sampai-sampai gentengpun berterbangan, juga rumah kita” Istriku menjawab. Lembut sekali, seperti tiada beban hidup. Seperti tidak ada nada protes atas selalu mangkirnya aku pulang kerja. Tidak ada sesayuppun nada marah pada suaranya, meskipun ia punya hak untuk marah padaku, punya wewenang memprotes ketidakbenaranku.
“Thole kecil tidur, aku suruh masnya menjaga, terus aku mencari tangga. Aku coba naik untuk mengganti genteng”. Dengan lembut dan penuh perasaan istriku menambahkan. “Ha, ibuk hujan-hujan naik ke atap,licin dan akhh,,,?” Aku kaget..aku kuatir. “Iya bapak,,ibuk naik, tapi tidak apa-apa kan, ini buktinya, aman selamat “ Mendadak aku gemetar. Aku tiba-tiba malu pada diriku sendiri. Selama ini aku abaikan keluarga. Aku sudah merasa cukup dengan memberi segepok uang untuk keperluan mereka. Aku berpikir semua itu sudah cukup. Sudah tidak perlu yang lain lagi.
“Dan ketika ibuk mengganti genteng, tahukah bapak bahwa sambil menjaga adiknya masnya membersihkan air yang jatuh dengan kain pel itu?” Istriku sepertinya menangkap nuansa berbeda dariku sehingga bersemangat bercerita. “Seturunnya ibuk dari atap, ibuk dapati lantai yang bersih dan kering. Ibuk kaget,siapa yang membersihkan. Dan sewaktu ibuk lihat si mas, ibuk terkejut ternyata anak itu masih memegang kain pel itu”. Bersemangat sekali istriku mengurai cerita. Jadi, anakku yang kecil ini, dan istriku yang perempuan ini telah melakukan pekerjaan yang semestinya aku yang mengambilnya? Ya Tuhan,,,aku jadi teringat Engkau.
Hujan masih turun. Sudah agak rintik. Dingin masih kuat membelai setiap makhluk. Hujan hari ini berbeda. Setidaknya terhadap diriku. Memang masih seperti kemarin, hujan air, ada mendung sebelum hujan dan hujan ini juga masih dari langit. Namun bagiku berbeda. Aku seperti diajak untuk membaca pesan lain dari hujan sore ini. Aku bisa mendengar dan melihat sebuah kisah kehidupan. Kisah kesetiaan yang bernada keras namun meskipun aku dekat tak pernah aku dengar.
Perlahan aku kembali mengangkat gelas minuman yang sudah dingin. Aku teguk dan terasa nikmat meskipun tidak hangat. Nikmat dan sedap meskipun tidak seperti yang biasa aku teguk. Ada  rasa dan pesona berbeda yang aku rasa. Istriku perlahan menuju kamar tempat anak-anakku tidur. Lampu masih mati, belum menyala. Hannya lilin yang berkedip. Temaram. Dan aku yakin andai listrik itu nyala pasti lilin itu takberarti lagi.  Yah,,begitulah manusia, selalu meninggalkan yang lebih kecil untuk ukuran keuntungan mereka.

Mbah’e

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH