Sendok di tanganku
belum sempat aku dorong mengantarkan sesuap nasi menuju ke mulutku, ketika
tiba-tiba pintu ruang tamu tempat aku tinggal diketok dari luar. Bergegas aku
menuju pintu, kulihat dari sela-sela korden siapa yang datang, aku kenal maka
segera kubuka pintu ruang tamuku. Berbasa-basi sejenak, lalu aku pamit cuci
tangan, meskipun aku upayakan juga untuk menyediakan minuman untuk tamu yang
adalah sahabatku itu.
Sekitar satu jam kami
bercakap dengan topik yang tak menentu. Namun hampir pasti disekitar kerjaan,
rumah,HP,Tab, BB dan juga pasangan hidup. Dari daftar itu, bagian terakhir aku
paling tidak suka membicarakannya. Entah mengapa aku enggan berbicara masalah
itu. Benar usiaku sudah tidak muda lagi, benar pula bahwa teman-teman
se-angkatanku dan juga seusiaku sudah hampr semua ada yang memanggil “ibu”,
“mama”, “bunda”, “mami”, dan tinggal aku yang masih bertahan dengan paggilan “mbak.”
Setelah sekitar satu jam kami berbagi cerita dan berkisah dalam senda gurau,
yang akhirnya membuat tempat kami bercakap kacau-balau.
Temanku itu, Suci
namanya. Kinathi Suciningtyas, dan akrab dipanggil Suci. Wanita karier,
enerjik, supel,agak tomboy dan enak diajak berteman. Hobinya banyak, salah
satunya, mengoleksi dan membaca buku. Selalu ketika bertemu,paling tidak
memamerkan satu buku baru yang dibacanya, entah pinjam maupun membelinya
sendiri. Juga ketika saat ke rumahku, ia membawa atau lebih tepatnya memamerkan
buku-bukunya, ada dua yang baru yang katanya bagus. Aku tidak peduli karena memang semenjak dulu, aku tidak begitu
suka dengan buku, apalagi membacanya.
Saking antusianya memamerkan ke aku, sekitar 4 buku dikeluarkan dari tas
dan diperlihatkan ke aku.
Mungkin lupa, atau
tergesa, sewaktu hendak pulang, atau lebih tepatnya meninggalkan tempat
tinggalku (baru saja dapat BBM katanya) ada satu buku yang tersingsal. Waktu
itu aku tahu ketika sedang membersihkan ruangan. Aku kaget karena ada buku
dibawah meja, aku sadar itu bukan bukuku. Setelah hampir usai, aku mengambil buku
itu, aku kaget, sepertinya aku pernah
kenal buku dengan model yang hampir sama. Judul buku itu sederhana, ada tertera
angka 33, selalu dengan angka itu penulis memberi judul untuk memberitahukan
jumlah tema di dalam buku itu. Setelah selesai semuanya, aku masuk ke kamar,
berbaring dengan santai. Rambutku yang masih bertahan panjang semenjak esde
kubiarkan terurai, kedua kakiku keselonjorkan, bantal satu kualaskan buat
kepalaku, guling pink,sama dengan warna bantal serta spreiku kuletakkan di
samping untuk sandaran tanganku. Kipas angin kecil kunyalakan, ada kesegaran
lembut menampar sekujur tubuhku. Segar dan menyenangkan.
Aneh, tiba-tiba aku
tertarik sebuah buku. Aneh, dan membuat aku seperti kehilangan diriku. Diriku
yang sulit tertarik dengan buku, meskipun dengan begitu aku bisa mengenyam
pendidikan strata satu. Sepertinya buku ini, milik Suci ini, memiliki daya
kekuatan luar biasa. Aku baca sampul depannya. Tiba-tiba, ingatanku melompat ke
sebuah waktu dipermulaan abad ini. Aku samar-samar ingat, namun amat samar sehingga
aku sulit menautkannya menjadi gambaran indah tuk dinikmati.
Mendung tiba-tiba
datang tanpa berkabar. Aku maklum,
negriku sudah sulit diprediksi keberadaanya. Dulu katanya ada empat
musim namun sampai sekarang hanya dua saja yang ada. Buku itu masih kupegang,
ada yang aneh. Semakin aneh. Samar-samar ingatku terbangunkan, ada
gambaran-gambaran bermain dilayar memoriku. Semakin aneh manakala tiba-tiba,
ada butiran bening air mata bergulir dari dua ujung kelopak mataku. Aku
memejamkan mata, mencoba mengejar kilatan bayangan masa laluku yang telah jauh
tertinggal dan sengaja kutinggalkan. Masa lalu yang takpernah kumengerti, namun
yang saat akhir-akhir ini justru aku menyesalinya.
Masih kepegang buku
ini dengan erat. Sambil tetap berbaring dan memejamkan mata. Rambut panjangku sengaja
kugeraikan, meski kadang mengganggu gerak leherku. Tiba-tiba juga, seperti aku
ingat kata-kata, “Aku suka dengan
perempuan yang rambutnya panjang”. Aku yakin, waktu itu meskipun tak
berucap langsung kepadaku, itu ditujukan ke aku. Hening dan tenang, khusuk dan
menyenangkan. Dan aku membuka mata, kubaca lagi sampul buku itu.
Ahaaaai,,,,!Aku ingat. Iya, buku ini, sama persis judulnya dengan buku di rumahku
yang kumiliki. Buku itu istimewa bagiku, amat istimewa. Semakin jelas,
kilatan-kilatan waktu lalu memberikan gambaran jelas. Iya, buku ini sama persis
dengan bukuku yang takpernah selesai kubaca.
****
Siang itu terik luar
biasa sang mentari. Meskipun bukan puncak musim kemarau. Panas sudah terasa
sejak pagi hari. Persisnya aku lupa tanggal serta tahunnya, namun aku ingat
bulannya. Bulan lahirku ke jagad raya ini. Sangat tidak pernah aku duga bahwa
peristiwa itu terjadi. Jujur, aku tidak begitu menaruh hatiku padanya. Bahkan
mungkin membencinya. Tak ada sedikitpun darinya yang bisa menarik perhatianku.Tidak
ada yang menarik minatku, sama sekali tidak ada. Bahkan, ketika sebuah
bungkusan diberikan ke akupun, tak semilipun kubergeming. Apalagi, itu buku, barang
yang sangat tidak aku sukai. Namun kuterima juga, kubuka bungkusnnya ketika aku
tinggal sendiri. Sebuah buku yang judulnya berkenaan dengan yang aku alami.
Kutaruh di meja dekat tempat tidurku, dengan kulempar. Malas aku membacanya.
Namun, meski malas
dan enggan membacanya, pada waktu-waktu aku merasakan sangat suntuk dan berat
meniti hidup ini, aku membacanya. Tidak semua, karena buku itu terdiri dari
tema-tema tertentu berjumlah 33. Ada yang sangat menarik perhatianku, dan
karena itu aku baca. Usai itu, kutinggalkan yang lain.
Aku masih berbaring
di tempat tidurku. Kulihat keluar, ke jendala yang sedikit terbuka, kulihat
lagit cerah, biru menggelayut seolah memayungi bumi dengan biru yang damai. Mendung
yang tadi sempat menggelapi bumi telah pergi entah ke mana. Buku temanku yang
tertinggal itu masih kudekap. Aneh, sepertinya aku terikat batin dengan buku
ini, atau lebih tepatnya dengan buku yang judulnya sama dengan yang sedang
kudekap. Aku bangkit, menuju ke meja, kuraih HP yang kutaruh di atas meja itu.
Kucari nama, kupencet tombol call. Yach, aku menelfon ibu, aku minta tolong ibu untuk melihat di almari
kamarku, di laci rak tengah,di bawah pakaian agak resmiku. Aku punya kebiasaan
memilah dan menempatkan pada tempat berbeda untuk pakaianku. Untuk yang harian
sendiri, yang resmi sendiri, yang santai sendiri dan untuk pakaian tidur juga
sendiri. Ibu kebetulan sedang dirumah dan kersa mencarikannya. Aku gelisah,
harap-harap cemas. Tiba-tiba aku takut kehilagan buku itu. Aku takut buku itu
tidak ibu temukan.
Kembali aku berbaring
sambil menunggu 15 menit, itu waktu yang kusampaikan ke ibuk. Tiba-tiba aku
ingat, ingat dengan seseorang. Seseorang yang sekitar dua bulan yang lalu
-setelah sekian waktu tak saling lihat- berjumpa atau boleh aku jumpai. Meski
perjumpaan itu hanya sepintas dan tidak terlontar satu kata dari kami, hanya
tangan kami yang saling jabat. Hanya senyuman kami saling terlontar. Aku
sepanjang satu jam selalu mencoba mengamatinya, karena kami berhadapan,
meski kadang sembunyi aku tahu dia juga
sering mengarahkan padanga ke aku, karena kerap sepanjang waktu itu, beberapa
kali pandangan kami saling bertemu.
Lamunanku melambung,
berkelana entah ke negeri mana. Sekalian kudengar musik mp3 dari sebelah rumah,
lagu melankolis dari Katon Bagaskara “Cinta Selembut Awan”. Tetangga sebelah
itu agak aneh, anak ABG namun suka lagu-lagu lama, lagu-lagu romantis yang
semestinya tidak disukai anak-anak remaja jaman sekarang. Atau memang disengaja
olehNya, untuk sekaligus menambah dan menjadi ornamen keadaanku sekarang ini? Gigitan nyamuk menyadarkanku, aku kaget. Kutengok HP,
ada 2 sms. Aku buka, dari ibuk ternyata. Sebuah kabar, bahwa bukunya masih.
Teriak tertahan aku membaca sms dari ibuku. Segera kuminta besok ibu atau bapak
mengirimkannya ke aku dengan paket express biar segera sampai di tanganku.
Buku temanku yang
tertinggal itu kuraih. Aku mulai membuka halaman demi halaman, bab demi bab.
Tidak aku baca memang, hanya kubuka dan kubuka. Mata dan tanganku di buku
temanku yang tertinggal ini, namun pikiran dan anganku melanglang buana. Meniti
jalan mimpi.
Hari-hari setelah itu
kulalui dengan harap yang membubung tinggi, buku itu segera sampai di tanganku.
Memang aneh, di tanganku ada buku temanku yang tertinggal. Judulnya sama,
warnanya sama, edisinya setelah aku cek juga sama. Namun aneh, bukan buku itu
yang menarik perhatianku. Buku milikuku itu yang menarik minatku. Ku menghitung
hari. Setelah tiga hari kuterima buku itu. Seperi anak kecil, sesampai di rumah
sepulang kerja, kubergegas ke kamar, kubuka bungkusan buku itu, kusobek biar
cepat terbuka dan akhirnya kupegang kembali buku yang telah lama kuabaikan.
Dengan memegang buku ini, seolah ingatanku akan peristiwa lampau tertampak
lagi.
***
Aku sadar, mungkin aku dulu salah menanggapi
sesuatu. Salah membaca bahasa dari seseorang yang ternyata sangat menaruh
perhatianku, sampai saat ini. Aku salah, karena aku hanya mengikuti emosiku,
tanpa pernah menggunakan nalar logisku untuk memikirkannya. Dalam hal ini, aku
tidak akan menyalahkan siapapun, selain aku. Dengan kuakui kesalahanku, aku
berharap akan ada langkah jelas di hari-hari yang akan kujelang. Terkadang
muncul niatan untuk merampasnya. Namun akal sehatku berteriak, aku lunglai. Wajah polos ibu dan
dua bocah kecil nan mengagumkan itu menyadarkan keegoisanku.
Tanpa sepengetauan siapapun, kerap aku buka-buka
account FB, dan kulihat wajah-wajah imut menggemaskan dari dua bocah kecil itu.
Manis dan cakep keduanya. Sering alam bawah sadarku menggodaku, seandainya
dahulu tak salah aku mengambil pilihan, mungkin dua bocah imut ini menjadi
bagian dari hidupku. Mungkin, aku akan menjadi ibu dari anak-anak itu. Namun,
semua hanyalah mimpi, hanyalah lembara-lembaran kenangan. Aku mesti
menepiskannya.
Mbah’e