Kamis, 08 Februari 2018

SENYUMAN KEMARAU


Berulangkali WA dari Dewi dibacanya. Ada rasa tak percaya. Sebenarnya tidak rasa lain selain persahabatan yang terjalin semenjak SMP.

Meski beberapa kawan kadang menggoda kami, karena sering aku tertangkap mencuri pandang Dewi dan juga seringnya beberapa teman memasangkan kami. Itu semua karena kau tahu, bahwa dia nampaknya tidak menaruh hati kepadaku, selain relasi persahabatan. Dan akupun menyadari semuanya.

Lama setelah kami berpisah, kami mendengar bahwa Dewi memiliki persoalan dengan rumah tangganya. Itu aku terima dari  beberapa teman yang berkabar “japri” denganku, meski kami sering bercanda luarbiasa di media grup WA.

Aku hanya menghela nafas dengan kabar burung yang beredar, sembari mendoakan agar Dewi tetap baik-baik saja.

Jam di rumahku yang tergantung di gebrok menunjukkan tepat pukul 12, meski takkuperhatikan namun sejatinya kurasa karena panasnya kemarau musim ini sungguh terasa. Kuperhatikan beberapa orang lalu lalang melintasi jalan desa di depan rumah tinggalku, yang kutempati sendiri, semenjak kedua orangtuaku berpulang.

Kuambil sebatang rokok yang selalu setia menemaniku sampai usiaku saat ini, yang masih sendiri. Sekejab sebuah hembusan angina menyegarkan panas yang membuai tubuhku dan bersamaan dengan itu, ada getaran terdengar yang terdengar dari meja di depanku. HP androitku bergerat dan kuambil. Ada WA dari Dewi,

“Aku ingin bertemu denganmu”, Singkat bunyi WA itu.

Aku kaget, ada agin apakah gerangan Dewi tiba-tiba memintaku bertemu?Apakah benar yang dipercakapkan teman-teman di grup WA itu, lalu untuk apa menemuiku?”, Itulah gejolak yang membuncah dalam batinku.

Benar kami satu SMP, namun rumah kami berjauhan, karena berbeda desa,  oleh karenanya kami semenjak berpisah SMP jarang berjumpa. Kami baru sering mengetahui kabar saat ada raksasa komunikasi bernama WA dan kami sering saling berkabar.

“Kapan kita bisa ketemu?”, Balasku.

“Besok jam 12 siang ya ..di tempat biasa dulu kita bertemu”, Balas WA itu.

“Sebenarnya ada apa sih Wi, kok ujug-ujug ingin bertemu denganku?”, Serbuku dengan Tanya.

“Besok saja mas, saat kita bertemu. Semua akan aku jelaskan”, Jawabnya di WA.
Seharian aku memikirkan persoalan permintaan Dewi yang ingin bertemu, mengajakku bertemu di tempat biasa dahulu kami bertemu. Dan kurasakan  hari bergulir seolah sangat lambat. Bahkan saat malampun terasa amat sangat lama. Hingga aku tertidur saat malam, meski belum mandi sore harinya.

Pagi itu kubereskan semua pekerjaan rutinku, memberi makan ternak, mengontrol kebun sayurku serta laporan websiteku.

Setelah selesai semua, bergegas aku berdandan ala kadarnya. Usia sepertiku sudah tidak pada tempatnya berdandan njimet saat seperti masa pemuda dan remaja.

Kemudian aku berangkat, dengan mobilku yang kuhasilkan dari hasil kerja kerasku,semenjak aku gagal membangun rumah tangga. Hanya berusia empat tahun rumah tanggaku, belum sempat punya anak, dan kemudian istriku pergi dengan mantan pacarnya yang berjanji memberikan segala keinginannya. Aku tidak bisa melarangnya dan ketika ada surat ceraipun, aku menerima sebagai bagian dari “Lagu Kehidupan” yang meski aku nyanyikan sendiri, meski terdengar parau.

Pelan kukemudikan mobilku, melintasi jalan-jalan desa yang Nampak mengeras karena panasnya kemarau. Debu kadang  mengahmbur saat ada anak-anak SMP melintas dengan motor tanpa etika berkendara. Panas sekali siang ini, dan hatiku juga ikut berdebar, menantikan perjumpaaku dengan Dewi. Aku jadi teringat denganDewi, kawanku saat SMP. Dulu dia agak pendiam, meski terkadang terkesan sadis. Cukup smart, meski tidak juga Nampak menonjol. Meski di WA takpernah adawajahnya, namun bayangan wajahnya saat SMP masih jelas di pelupuk mata ini.

Sekitar jam 12.10 menit aku sampai di tempat kami berjanji ketemu. Masih seperti dahulu, belum banyak berubah, hanya ada beda tentang tiang-tiang listrik di pinggir jalan yang menuju desa bernama Pokoh. Rumah penutup pintu air itu masih sama, seperti saat kami SMP,saat kami pernah ke tempat ini. Panasnya terik matahari menghujam ke air warna perak di ebelah selatan tempat kami memandang.

Dewi kulihat memandang kea rah kumpulan air itu. Rambutnya yang panjang dipermainkan oleh angina yang semilir mencoba membelai semesta. Ada anak-anak rambut yang keulihat mempir di sekitar bibirnya, saat aku semakin dekat da nada di depan samping dirinya berdiri. Masih diam Dewi, meski sudah tahu kedatanganku. Akupun ikutan menikmati suasana, juga angina yang menampar wajahku, disampingnya aku berdiri.

“Maaf ya, aku merepotkanmu”, Sapanya memecah suasana dan bersamaan dengan melemahnya hembusanangin. Perlahan Dewi memandang ke arahku. Masih manis, seperti saat SMP, hanya rambutnya Nampak lebih panjang, lesung pipit di kedua pipinya Nampak saat agak memaksakan tersenyum.

Aku masih terdiam dan masih asyik menikmati ombak-ombak kecil di bawahku yang kadang berkialaun menerima terpaan sinar matahari. Di ujung selatan, ada angkotan desa meraung-raung membawa penumpang dari pasar, karena ini Wage, pasaran di kecamatan selatan kecamatan kami. Kemudian aku berpaling, menghadap kearah utara, masih bersandar di dua besi dalam bangunan penutup pintu pengatur air itu.

“Hidup ini memang meski saling merepokan Wik”, Jawabku datar.

“Kamu masih seperti dahulu, saat masih SMP”, Jawab Dewi datar.

Angin kembali berhempbus, agak besar sehingga terasa sepoinya. Kuhela nafas, sembari menunggu Dewi menghamburkan cerita.

“Aku dengar kabar, bahwa dirimu gagal berkeluarga. Namun aku takpernah mencoba mencari tahu lebih.” Kata Dewi kemudian. Aku diam, mencoba menunggu ceritanya.

“Akupun demikian. Gagal menjaga rumah tangga, karena suamiku pergi dengan perempuan yang aku sendiri tidak mengenalnya. Pergi tanpa pamit dan takjua kutahu di mana sekarang. Namun yang memberatkanku adalah, semua asetku diambilnya. Kecuali tiga anakku. Semua diambil dan tanpa sisa, bahkan rumahkupun sudah digadaikannya. Menurutku itu belum seberapa. Satu yang membuatku hancur adalah, saat ada seseorang datang menemuiku, mengaku kawannya suamiku. Aku percaya dan dia berjanji menemukanku dengan ayah dari anak-anakku. Namun semua hancur, saat aku diajaknya menemui suamiku, aku dibawa ke sebuah hotel, yang katanya di tempat itu suamiku akan datang. Aku dibookingkan kamar. Aku menurut saja.
Kutunggu dengan sejuta harap, akan bertemu dengan ayah dari anak-anakku.

Namun yang  erjadi adalah petaka. Malam itu, dengan kunci lain, orang yang mengaku kawan suamiku itu masuk ke kamar tempat aku ada. Aku dipaksanya memuaskan nafsunya, dan yang lebih menyakitkan, aku sudah dijual suamiku”, Ungkap Dewi sambil menahan nafas.

Semilir angin semakin sejuk menerpa kami berdua berserta semesta di sekitar kami. Kulihat, ada butiran air bening di kedua ujung kelopak mata Dewi. Perlahan kuambil tissue di sakuku, dan tanpa sadar kuusap butiran air bening itu yang beberapa mulai bergulir ke pipinya.


“Aku sudah hancur berkeping-keping. Semua milikku sirna, dan tinggal anak-anakku yang masih kecil-kecil itu. Sekarang aku titipkan mbahnya, bapak dan simbokku. Aku sudah kehilangan segalanya. Ke sinipun aku minta tolong sepupuku yang gratis tanpa membayar”, lanjut Dewi.

Aku menghela nafas, ada geram bergemuruh di dadaku, tidak terima, kawan dan juga perempuan yang sempat kuidoai itu dihempaskan sebegitu beratnya. Nafasku agak tersengal menahan amarah dan geram.

“Tidak usahlah kau marah. Tidak ada artinya. Aku hanya ingin berkisah denganmu, tanpa harap apapun. Kau mau mendengar kisahkupun sudah mujijat luar bbiasa untuku”, Kata Dewi sembari menyibakkan anak rambutnya yang menutup wajahnya karena hembusan angin siang itu.

Akut tertegun. Kuarahkan pandanganku ke selatan. Nun di sana, bukit-bukit yang merupakan gugusan pegunungan seribu, masih tegar dengan segala duka yang menerpa. Seekor burung tekukur melintas cepat di atas kami berada dan bunyi ayam alas menyeruak diantara semilir angin. Aku tersadar, nampaknya in cara Yang Kuasa mempertemukannya denganku, aku diutusNya untuk menolongnya.

“Dewi, maukah kau menemaniku menghabiskan sisa usiaku?Aku siap mendampingimu bersama-anak-anakmu meniti kehidupan ini”, Tiba-tiba kata-kata itu meluncur bak banjir sungai pegunungan. Dan Dewipun Nampak kaget bukan kepalang.

“Sadarkah dengan apa yang kau ucapkan?”, sergahnya seolah tidak percaya. “Aku sudah hancur, hina sehina-hinanya. Dan kau masih putih laksana awan di timur bukit itu”, sembari menunjuk kea rah sepotong awan putih di atas bukit tenggara kami berada.

“Putih dan tidak bukan kita yang menilai Wik. Sekarang, mau tidak kau menemaniku meniti kehidupan ini?”. Jawabku pelan namun mantab. Kulihat Dewi bingung namun sebait harap Nampak memendar dari wajahnya yang manis. Kemudian menyibakkan rambutnya, menalinya dengan pita ungu, warna kesukaannya semenjak SMP.

“Aku mau. Aku siap menemanimu hidup sampai maut memisahkan kita”, Jawab Dewi. Alam semesta seolah ikut terhanyut suasana hati kami. Di air waduk dekat kamipun mendadak tenang, hembusan anginpun gagal menggerakkannya, semua terhanyut suasana hati kami berdua”

Dan siang itu kulihat Kemarau Yang Tersenyum. Mungkin bukan hanya untuk kami.. Sayup kudengar lagu Naff, “Akhirnya Kumenemukanmu”, teralun merdu, semerdu hati kami berdua…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH