Rabu, 01 Februari 2017

IBU PERKASA



Usianya sekitar 50an tahun. Kulitnya legam, bukan karena keturunan namun karena sengatan matahari saat kemarau menyapa negeri ini. Wajahnya sudah mulai muncul titik-titik keriput, meski keriput itu disebabkan oleh pergumulan dan perjuangan. Dengan menggendong tenggok sebagai tempat tempe sebagai  barang dagangannya, ibu itu berjalan dan terus berjalan. 
Di dalam tenggok itu, selain tempe ada aneka macam sayuran, bumbu dapur, beberapa makanan ringan. Selalu stiap pagi pekerjaan itu dikerjakannya.
Menurut ibu itu, sebelum bersiap berkeliling ke kampung sebelah, pagi sekitaran pukul 03.00 atau subuh, sudah harus bangun. Menyalakan api di tungku tradsional,merebus air, memasak nasi, memasak kedelai untuk bahan dasar tempe. Sembari  memasak, si ibu menyiapkan dagangan yang akan dijualnya. Setelah semuanya siap, sebelum matahari terbit, si ibu sudah harus bergegas meninggalkan rumah kediamannya yang sederhana, berkeliling menuju kampung tetangga. Kampung yang cukup jauh, mesti mendaki bukit di sebelah barat kampung si ibu itu. Mendaki bukit dengan menggendong barang dagangan. Tidak pernah nampak ada penyesalan ataupun kekecewaan.
Menurut ibu itu, pekerjaan itu mesti dikerjakan dengan tulus dan bersyukur. Apa yang digendong itu bukanlah beban atau barang. Yang digendongnya adalah harapan. Dia menjual kehidupan, bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh sesame, oleh saudara dan handai taulan. Menurut si ibu, berjualan semenjak lulus SR, kemudian setelah menikah, di sela-sela momong anak-anaknya, berjualan adalah nafas kehidupan. Bagi si ibu, menggendong dagangan seolah menggendong anal-anaknya, menggendong amsa depan-anak-anaknya.
Masih menurut si ibu, biasanya usai berjualan keliling sekitar jam 8 pagi, kemudian pulang. Sepanjang jalan pulang, menyempatkan mencari ranting-ranting kering untuk bahan bakar tungku dapurnya. Masih juga mencari daun jati, untuk membungkus tempe yang akan dijual esok hari. Sesampainya di rumah, meletakkan tenggok, beristirahan sembari menyiapkan segala kebutuhan untuk memasak sayur, atau selalu dikatakan Jangan (Istilah menu sayur). Tidak ada waktu untuk benar-benar bersantai. Semua adalah aktifitas.

Saat jangan sudah matang,  dilanjutkan dengan mematangkan bahan dasar tempe, kemudian makan. Usai makan siapg, siap untuk membungkusi bahan tempe yang akan dijual esok harinya. Semua itu adalah aktifitas yang rutin dikerjakan si ibu berusia 50an tahun. Hingga kemudian, sakit menyapanya. Awal tidak pernah diperhatikannya, dan seiring anak-anaknya usai menyelesaikan sekolahnya, sakit itu makin dirasakan menggerogoti raganya. Namun tiada pernah keluh kesah keluar dari mulut si ibu itu. Selalu senyum yang diberikan, kepada siapapun, baik anak-anak maupun suami dan siapa saja.

Sakit itu mungkin kode dari Sang Pemilik Hidup, agar umat ciptaanNya segera menyelasikan kehidupan dunia yang penuh perjuangan ini. Hingga akhirnya, sakit itu membukakan “Jalan Pulang” ke rumah keabadian.  Pulanglah dengan damai dan senyuman wahai ibu perkasa, yakinlah, jalan perjuanga yang kau teladankan akan menjadi inspirasi untuk siapa saja yang dekat denganmu. Juga, kedua anak-anakmu, dan saat ini mungkin cucu-cucumu akan ikut meneladani semangatmu.  Wahai ibu perkasa, suamimu, bapak dari dua anak lelakimu, menyusulmu 9 tahun kemudian, semoga engkau sudah bersua, dalam kedamaian kekal yang tidak mungkin dilukiskan dengan bahsa kefanaan.

Sebuah kenangan Saat Hujan Sore dan Menikmati Tempe Goreng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH