Usianya sekitar 50an tahun. Kulitnya legam, bukan karena
keturunan namun karena sengatan matahari saat kemarau menyapa negeri ini. Wajahnya
sudah mulai muncul titik-titik keriput, meski keriput itu disebabkan oleh
pergumulan dan perjuangan. Dengan menggendong tenggok sebagai tempat tempe
sebagai barang dagangannya, ibu itu
berjalan dan terus berjalan.
Di dalam tenggok itu, selain tempe ada aneka macam
sayuran, bumbu dapur, beberapa makanan ringan. Selalu stiap pagi pekerjaan itu
dikerjakannya.
Menurut ibu itu, sebelum bersiap berkeliling ke kampung
sebelah, pagi sekitaran pukul 03.00 atau subuh, sudah harus bangun. Menyalakan api
di tungku tradsional,merebus air, memasak nasi, memasak kedelai untuk bahan
dasar tempe. Sembari memasak, si ibu menyiapkan
dagangan yang akan dijualnya. Setelah semuanya siap, sebelum matahari terbit,
si ibu sudah harus bergegas meninggalkan rumah kediamannya yang sederhana,
berkeliling menuju kampung tetangga. Kampung yang cukup jauh, mesti mendaki
bukit di sebelah barat kampung si ibu itu. Mendaki bukit dengan menggendong
barang dagangan. Tidak pernah nampak ada penyesalan ataupun kekecewaan.
Menurut ibu itu, pekerjaan itu mesti dikerjakan dengan
tulus dan bersyukur. Apa yang digendong itu bukanlah beban atau barang. Yang digendongnya
adalah harapan. Dia menjual kehidupan, bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh sesame,
oleh saudara dan handai taulan. Menurut si ibu, berjualan semenjak lulus SR,
kemudian setelah menikah, di sela-sela momong anak-anaknya, berjualan adalah
nafas kehidupan. Bagi si ibu, menggendong dagangan seolah menggendong
anal-anaknya, menggendong amsa depan-anak-anaknya.
Masih menurut si ibu, biasanya usai berjualan keliling
sekitar jam 8 pagi, kemudian pulang. Sepanjang jalan pulang, menyempatkan
mencari ranting-ranting kering untuk bahan bakar tungku dapurnya. Masih juga
mencari daun jati, untuk membungkus tempe yang akan dijual esok hari. Sesampainya
di rumah, meletakkan tenggok, beristirahan sembari menyiapkan segala kebutuhan
untuk memasak sayur, atau selalu dikatakan Jangan
(Istilah menu sayur). Tidak ada waktu untuk benar-benar bersantai. Semua adalah
aktifitas.
Saat jangan sudah matang,
dilanjutkan dengan mematangkan bahan dasar tempe, kemudian makan. Usai makan
siapg, siap untuk membungkusi bahan tempe yang akan dijual esok harinya. Semua itu
adalah aktifitas yang rutin dikerjakan si ibu berusia 50an tahun. Hingga kemudian,
sakit menyapanya. Awal tidak pernah diperhatikannya, dan seiring anak-anaknya
usai menyelesaikan sekolahnya, sakit itu makin dirasakan menggerogoti raganya. Namun
tiada pernah keluh kesah keluar dari mulut si ibu itu. Selalu senyum yang
diberikan, kepada siapapun, baik anak-anak maupun suami dan siapa saja.
Sakit itu mungkin kode dari Sang Pemilik Hidup, agar umat
ciptaanNya segera menyelasikan kehidupan dunia yang penuh perjuangan ini. Hingga
akhirnya, sakit itu membukakan “Jalan Pulang” ke rumah keabadian. Pulanglah dengan damai dan senyuman wahai ibu
perkasa, yakinlah, jalan perjuanga yang kau teladankan akan menjadi inspirasi
untuk siapa saja yang dekat denganmu. Juga, kedua anak-anakmu, dan saat ini
mungkin cucu-cucumu akan ikut meneladani semangatmu. Wahai ibu perkasa, suamimu, bapak dari dua
anak lelakimu, menyusulmu 9 tahun kemudian, semoga engkau sudah bersua, dalam
kedamaian kekal yang tidak mungkin dilukiskan dengan bahsa kefanaan.
Sebuah kenangan Saat Hujan Sore dan Menikmati Tempe Goreng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar