“Pak, saya mau ketemu empat mata dengan Bapak,”,
Celetuk seorang perempuan setengah baya dari seberang melalui sambungan telefon
seluler.
“O,iya, lha kapan bu?Saya siap selalu”, Jawab saya sederhana.
Setelah disepakati waktu dan tempat, akhirnya kami
bertemu di rumah ibu setengah baya ini. Bersama dengan suami dan anak-anaknya
kami ngobrol santai dan sangat cair. Saling berbagi kisah kehidupan diantara
kopi manis dan kacang tanah rebus yang nikmatnya tiada terkira. Semakin meriah dan menyenangkan manakala
melihat ke luar aneka warna umbul-umbul menyemarakkan suasana peringatan
kemerdekaan negeri ini, meski dalam hati bertanya, cukupkah dengan cara ini
menghormat negeri?
“Pak, saya mau matur terbuka dengan bapak. Namun sebelumnya
saya minta maaf jika yang saya katakana nanti tidak berkenan di hati bapak”,
Ibu ini dengan santun memulai inti perjumpaan.
“Iya bu..santai saja,saya akan mendengar,mengolah
dan menerima semua yang ibu ngendikakne”.
“Begini pak, saya itu kurang suka dengan gaya bapak,
rambut gondrong,jenggot menjuntai,kalau ngomong seperti pembalap formula satu dan keras seperti mercon, seperti TNT malahan. Saya sering tersinggung dengan ucapan
bapak. Dan semakin tersinggung manakala melihat bapak malah sangat cuek meski
sudah menyakiti perasaan saya. Saya tahu kok pak, selain saya banyak juga
ibu-ibu,bapak-bapak,pemuda dan pemudia serta anak-anak yang tidak suka dengan
bapak. Mbok bapak rubah sikap bapak ini!” Dari nada landai sampai ke nada
tinggi, saya mencoba mendengar dan terus mendengar.
Sembari merenung bahwa apa
yang dikatakan ibu ini benar, meski tidak semuanya. Ibu ini masih melanjutkan
menggelontorkan unek-uneknya sampai sekitar 29 menit,dan masih kudengarkan
dengan sederhana dalam senyuman sederhana pula.
Ada gemuruh untuk menghentikan laju kata-kata si
Ibu namun saya berjuang menahannya. Sembari berpikir bahwa mendengar dan
menjadi pendengar yang baik itu perlu perjuangan. Sembari menimbang-nimbang
semua curahan kekesalah si ibu itu, saya menahan dorongan upaya pembelaan
diri,karena sejatinya manusia selalu diberi kesempatan untuk melindungi diri,entah
salah entah benar.
“Dan lagi Pak, saya tidak suka bapak selalu
menolak makan jika waktunya sudah malam. Itu namanya menolak rejeki,kalau
diterima dengan baik dan syukur, tidak ada itu kolesterol,asam urat,diabetes. Wong
di Kitab Suci tidak ditulis. Para nabi juga tidakada tuh pak yang kena
stroke,diabetes atau darah tinggi. Bapak saja yang terlalu kuatir. Sekian pak,kalau
bapak mau marah ya silakan,itu kemerdekaan dan hak bapak. Tapi kalau tidak marah ya silakan,itu juga hak bapak”,
Demikian si ibu menguras unek-uneknya dan sayapun terdiam. Menimbang dengan
senyuman kaena saya ingin merdeka dari segala tuntutan batin,emosi dan dendam.
“Terima kasih bu..semua yang ibu katakana itu adalah
gizi kehidupan untuk saya”, Jawab saya sederhana sembari melanjutkan meminum
kopi hitam manis buatan anak pertamanya.
“Loh, bapak tidak marah ta?,Sergah si ibu setenga
atau sepertiga kaget.
“Saya kan merdeka bu, mau marah ya bisa mau tidak
marah ya bisa,dan saya memilih untuk tidak marah.”, Jawa saya.
Ternyata merdeka
itu pilihan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar