Kamis, 18 Agustus 2016

MERDEKA ITU PILIHAN





“Pak, saya mau ketemu empat mata dengan Bapak,”, Celetuk seorang perempuan setengah baya dari seberang melalui sambungan telefon seluler.
 “O,iya, lha kapan bu?Saya siap selalu”, Jawab saya sederhana.
Setelah disepakati waktu dan tempat, akhirnya kami bertemu di rumah ibu setengah baya ini. Bersama dengan suami dan anak-anaknya kami ngobrol santai dan sangat cair. Saling berbagi kisah kehidupan diantara kopi manis dan kacang tanah rebus yang nikmatnya tiada terkira.  Semakin meriah dan menyenangkan manakala melihat ke luar aneka warna umbul-umbul menyemarakkan suasana peringatan kemerdekaan negeri ini, meski dalam hati bertanya, cukupkah dengan cara ini menghormat negeri?


“Pak, saya mau matur terbuka dengan bapak. Namun sebelumnya saya minta maaf jika yang saya katakana nanti tidak berkenan di hati bapak”, Ibu ini dengan santun memulai inti perjumpaan.
“Iya bu..santai saja,saya akan mendengar,mengolah dan menerima semua yang ibu ngendikakne”.
“Begini pak, saya itu kurang suka dengan gaya bapak, rambut gondrong,jenggot menjuntai,kalau ngomong seperti pembalap formula satu dan keras seperti mercon, seperti TNT malahan. Saya sering tersinggung dengan ucapan bapak. Dan semakin tersinggung manakala melihat bapak malah sangat cuek meski sudah menyakiti perasaan saya. Saya tahu kok pak, selain saya banyak juga ibu-ibu,bapak-bapak,pemuda dan pemudia serta anak-anak yang tidak suka dengan bapak. Mbok bapak rubah sikap bapak ini!” Dari nada landai sampai ke nada tinggi, saya mencoba mendengar dan terus mendengar. 
Sembari merenung bahwa apa yang dikatakan ibu ini benar, meski tidak semuanya. Ibu ini masih melanjutkan menggelontorkan unek-uneknya sampai sekitar 29 menit,dan masih kudengarkan dengan sederhana dalam senyuman sederhana pula.
Ada gemuruh untuk menghentikan laju kata-kata si Ibu namun saya berjuang menahannya. Sembari berpikir bahwa mendengar dan menjadi pendengar yang baik itu perlu perjuangan. Sembari menimbang-nimbang semua curahan kekesalah si ibu itu, saya menahan dorongan upaya pembelaan diri,karena sejatinya manusia selalu diberi kesempatan untuk melindungi diri,entah salah entah benar.
“Dan lagi Pak, saya tidak suka bapak selalu menolak makan jika waktunya sudah malam. Itu namanya menolak rejeki,kalau diterima dengan baik dan syukur, tidak ada itu kolesterol,asam urat,diabetes. Wong di Kitab Suci tidak ditulis. Para nabi juga tidakada tuh pak yang kena stroke,diabetes atau darah tinggi. Bapak saja yang terlalu kuatir. Sekian pak,kalau bapak mau marah ya silakan,itu kemerdekaan dan hak bapak. Tapi kalau  tidak marah ya silakan,itu juga hak bapak”, Demikian si ibu menguras unek-uneknya dan sayapun terdiam. Menimbang dengan senyuman kaena saya ingin merdeka dari segala tuntutan batin,emosi dan dendam.
“Terima kasih bu..semua yang ibu katakana itu adalah gizi kehidupan untuk saya”, Jawab saya sederhana sembari melanjutkan meminum kopi hitam manis buatan anak pertamanya.
“Loh, bapak tidak marah ta?,Sergah si ibu setenga atau sepertiga kaget.
“Saya kan merdeka bu, mau marah ya bisa mau tidak marah ya bisa,dan saya memilih untuk tidak marah.”, Jawa saya. 
Ternyata merdeka itu pilihan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH