Rabu, 18 Mei 2016

Sekuntum Bunga Kamboja





Seorang lelaki separoh mengayuh sepeda tua berpuluh-puluh mil jauhnya, bersandar di bahu angin jalanan yang panas, berkelok-kelok medan terjal dan sekarung beras mengiringi kayuhan sepeda tuanya, yang nampaknya agak sedikit lebih muda dibandingkan usianya.

Pagi buta menyambar keriputnya kulit lelaki separo baya hari itu, seolah tak heran dengan kebiasaannya membangunkanku dengan ketukan pintu pada pukul 3 pagi, inilah rutinitas keluarga lelaki paroh baya pada saat fajar menjemput. Ya, mencari batu kali yang tak seberapa untuk menambal beban hidup. Ia selalu bekerja dengan keras dan penuh syukur, tak pernah ia memaki nasip dan takpernah juga ia menyalahkan keadaan, semua dilakukannya dengan bahagia.

IILAH CARA TERBAIK ITUUU..


Angin semilir menusuk raga yang masih mengantuk namun keadaan  mengharuskannya untuk pegi ke kali mencari batu untuk di jual, ini sebenarnya pekerjaan selingan lelaki paroh baya itu, disamping berkebun dan bertani. Namun lelaki paroh baya itu nampaknya sedang mengalami gangguan kesehatan,  sehingga wajahnya nampak kuyu dan kadang nafasnya tersngal, bukan oleh asap, namun karena rentanya sang usia.

sesampai di sungai atau kali, selalu ia berdoa sebelum mengerjakan pekerjaannya. doa bagi lelaki paroh baya itu seolah adalah hidupnya yang lain, pekerjaan adalah doaku yang nampak dan berdoa adalah nafas kehidupanku. Begitulah yang menjadi keyakinan si lelaki paroh baya itu. Buah dari kegigihannya bekerja sudah bisa dirasakan, bukan hanya untuk dirinya dan almarhum istrinya melainkan juga bagi siapa saja yang pernah berjumpa dengan lelaki paroh baya itu.

suatu ketika, ada pemuda lapuk, Dalijo namanya, entah nama sebenarnya atau nama yang lain. Dia, Dalijo, lelaki muda yang mendekati usia empatpuluh tahun it, sangat berharap bisa berkenaan,bercakap dan kemudian belajar dari lelaki paroh baya itu tentang hidup, perjuangan, harapan dan kesetiaan.  Karena tanpa diprokalamasikanpun, dunia bisa mengenal betapa lelaki paroh baya yang tidak memiliki  lahan luas itu, bisa menyekolahkan anak-anaknya yang tiga itu sampai pada tahap sarjana. Dan anehnya, meski ketiga anaknya sudah dewasa dan mandiri, tetap saja lelaki paroh baya itu bekerja dan  bekerja. Nampaknya diam bukanlah prinsip hidupnya..

meski agak panas, namun karena di bawah pohon awar-awar, suasana menjadi sejuk. di suasana sejuk bersamaan dengan gemericik air sungai gunung itulah, Dalijo berbincang. Ada pengalaman kehidupan yang akhirnya bisa membentuk mentalitas lelaki paroh baya itu hingga setia dengan hidup dalam segala pekerjaannya. Ada luka, ada penolakan, ada penghianatan, semua dirangkai dalam iman tulus kepada Sang Pencipta, bahwa akan sampai pada waktunya, semua orang akan mengalami keindahan.

"Bapak, sungguh, engkau manusia hebat, manusia langka yang pernah hadir di muka bumi ini..."Dalam keterpanaan yang takterbilang Dalijo berguman namun keras. Dan Lelaki Paroh baya itu menimpali...
"Sekarang yang penting bukanlah bekerja keras nakmas, namun juga meski bekerja dengan CERDAS. Bekerja keras tidak selalu cerdas, sementara bekerja Cerdas tidak harus keras..Namun saat ini masih banyak anak-anakmuda yang hanya bekerja keras tanpa sebuah kecerdasan" Kata lelaki paroh baya itu.. Dalijo semakin terpesona dan kemudian bertanya.

"Bapak, tolong tunjukan kepada aku ini, mana jalan menuju pekerjaan CERDAS itu.."Pinta Dalijo setengah merengek. Lelaki paroh baya itu tersenyum, kemudian berkata lirih..

"Kamu tinggal Klik tulisandi bawah yang berwarna ungu, ikuti  saja, maka kamu akan menemukan sebuah model bekerja dengan Cerrdas, ikuti dan praktekkan sesuai apa yant diarahkan, niscaya kamu akun mengalami kelimpahan..

inilah JALAN HIDUP BERKELIMPAHAN itu..




Salam
Mbah'e Dalijo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKSI Di Malam PASKAH