Awas,
dibalik Tindakan baik sering ada bahaya !
Semnjak kecil kita senantiasa diajarkan untuk
berbuat baik. Menolong sesama,memberi bantuan sesama saling menyapa sesama.
Kita diajak untuk peduli satu dengan yang lainnya. Dan memang, akibat atau buah
dari ajaran berbuat baik itu bisa terkristalisasi hingga dewasa,hingga kita
berusia tua bahkan. Namun, benarkah berbuat baik itu selalu berujung baik?Benarkah bertindak baik itu
senantiasa mengasilkan buah yang baik pula?
Alkisah, di sebuah desa, ada satu keluarga yang
sudah menikah dan belum memiliki anak hingga usia pernikahan mereka hampir 9
tahun. Bisa dibayangkan kegundahan mereka, dan sewaktu mereka kemudian diberi
anak (Teologi Anugerah), mereka sangat berbahagia,mereka senang bukan kepalan. Hingga
tiba saatnya lahir anak itu. Saking senengnya, maka diadakan syukuran, semacam
bidston untuk sanak saudara, tetangga dan handai taulan. Namun masalahnya bukan
di sini, namun saking senangnya mendapatkan momongan, keluarga ini justru
teramat sangat hati-hati memperlakukan anak mereka, hingga senantiasa digendong.
Bahkan hingga usia yang semestinya mulai belajar berjalanpun anak ini masih
saja digendong,diemban oleh keluarga itu dengan alasan takut jatuh, takut kena
pecahan kaca,takut nabrak pintu dll. Semua “Tindakan Baik” kedua orangtua si
anak itu berakibat fatal, si anak menjadi lambat pertumbuhan fisiknya. Disaat
anak-anak seusianya sudah bisa brmain dan berlarian. Ia belum bisa berjalan
karena terlalu seringnya digendong oleh orangtuanya.
Tindakan
baik orang tua diatas menghasilkan bencana bagi si anak. Dan sepanjang sejarah peradaban manusia di dunia ini,
narasi kehidupannyapun juga sering ditandai dengan “Tindakan Baik” yang
berujung petaka bagi yang lain. Atas nama kemuliaan bangsa Arya, Hitler
memusnahkan Etnis Yahudi, Atas nama kejayaan Republik Indonesia, berapa ribu
jiwa dihempaskan Soeharto? Sekarang ini,
ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, menyiksa dan memperkosa warga di
Irak dan Suriah. Mereka melakukannya atas nama agama. Mereka mengira,
perbuatannya adalah perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama
ditemukan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara. Mengapa
Semua ini bisa terjadi?
Semua bisa terjadi karena orang yang (merasa) sedang berbuat
tidak memiliki kejernihan berpikir. Kejernihan
berpikir di sini berarti, mencoba melihat segala sesuatu masalah dengan jelas
dan utuh, tidak hanya sepotong-sepotong. Tidak bisa hanya demi kasih sayang
karena 9 tahun tidak memiliki anak lalu menggendong terus anak yang
seharusnya sudah bisa berlarian. Biarkan
saja anak belajar berjalan dan berlari, JATUH dan LUKA itu bagian dari
pengalaman hidup.
Sebuah nasehat dari Enomiya-Lasalle, Zen Master dari
Jerman, mungkin perlu diangkat demi menolong kita melihat apa itu kejernihan, Enomiya-Lasalle,
mengatakan bahwa kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri
sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa dan
konsep. Seluruh ajaran filsafat, mistik dan agama di seluruh dunia mengajarkan
kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. Sayangnya, kita
lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada jati diri sejati kita
sebagai manusia.
Seringkali kita sudah merasa benar saat mendengar
jeritan minta tolong orang dan kemudian menolong dia/mereka. Di sini kejernihan
tidak diajak bicara,tidak dilibatkan. Ini semua terjadi karena di dalam konsep
berpikir manusia hanya dipenuhi dengan “Yang penting menolong”. Menolong itu
baik, namun melihat masalah dengan lebih jelas dan jernih juga sangat penting.
Sama dengan kasus di atas, menggendong anak itu tidak salah,dan juga tidak ada
pidana,karena itu baik, namun akibat dari selalu menggendong itu adalah petaka
bagi si anak itu sendiri. Mencampuri urusan orang lain mungkin baik, namun dengannya ada ruang yang
hilang batas demarkasinya, sehingga bias semua.
Kembali ke ajaran Enomia-Lasalle, sebagai pertimbangan
berpikir kita, berbuat baik itu ada empat kategori. Berbuat baik secara fisik seperti memberi bantuan
saat ada yang (merasa) terluka dan tersakiti, yang kedua bertindak baik dengan memberikan inspirasi pada orang lain
untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi, supaya ia lalu bisa bekerja
sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya, ketika keadaan menjadi sulit. Ia
menjadi api bagi dirinya sendiri untuk berkembang.
Yang ketiga adalah berbuat baik dengan menjelaskan kepada orang lain hakekat
sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya, kita mengajarkan kepada
orang lain tentang kebenaran dari kenyataan sebagaimana adanya. Kita tidak
menipu mereka dengan ajaran maupun konsep yang terlihat indah, namun palsu.
Dengan kata lain, kita memberikan “kebenaran” kepada orang lain.
Yang keempat, dan tertinggi, adalah berbuat baik
dengan menjelaskan fungsi yang tepat
dari segala sesuatu kepada orang lain, sehingga orang lain bisa menggunakan
segala hal yang ia punya untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen,
ini disebut juga jalan Bodhisattva. Orang tidak menolak apapun. Orang
menerima segalanya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh masyarakat, dan
kemudian menggunakan semuanya untuk menolong semua mahluk.
Dari pemaparan yang diangkat Enomia di atas, jelas
bahwa kita sering hanya terpaku pada kategori pertama, bertindak baik secara
fisik. Dan itu bisa berakibat kategori dua sampai empat musnah. Kita berbuat
baik tanpa berjuang memberi inspirasi,kita menolong tanpa tujuan memberi
penjelasan, persis seperti seorang bapak yang menggendong anaknya yang menangis
karena bertengkar dengan temanyya, lalu marah-marah kepada anak tetangga,
padahal sejatinya anaknya yang salah. Si Bapak memiliki pamrih, yaitu puas dan
anaknya ada dipihak yang benar, sebagai korban. Jika kita berbuat baik mash
dengan pamrih, artinya kita manusia yang belum selesai dengan diri sendiri.oleh
karenanya,jangan BERBUAT BAIK dulu, akibatnya berat, gaswat bin medeni.